Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Narapidana Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama
Rawls menulis bahwa tidak adil mengorbankan hak dari satu atau beberapa orang hanya demi keuntungan ekonomis yang lebih besar bagi masayarakat secara keseluruhan. Ia beranggapan sikap tersebut bertentangan dengan keadilan yang menghendaki prinsip kebebasan yang sama bagi semua orang. Keputusan sosial yang berkonsekuensi bagi semua anggota masyarakat harus dibuat atas dasar hak daripada atas dasar manfaat (Andrea Ata Ujan; 1999:18).
Berkaitan dengan manfaat sosial, keadilan harus dipahami dalam arti bahwa keuntungan sosial juga harus dibukakan peluangnya bagi orang-orang yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya, dan bukan hanya milik orang-orang yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja. Tetapi, “The different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik, yang disebut sebagai reciprocal benefits (Lord Lloyd of Hampstead & M.D.A. Freeman; 1985:414). Misalnya, seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai daripada pekerja yang tidak terampil. Di sini keadilan sebagai fairness sangat menekankan azas resiprositas namun tetap memperhatikan perbedaan-perbedaan objektif di antara anggota masyarakat. Jadi, prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula.
Teori keadilan “The different principle” milik Rawls kemudian dikritik karena membuka peluang intervensi pemerintah untuk melanggar hak seseorang. Prinsip ini juga mengorbankan usaha dan kegigihan orang dalam mencapai taraf kesejahteraan tertentu, justeru dikesampingkan demi kepentingan mereka yang tidak beruntung. Walau begitu, menurut pendukungnya, teori keadilan Rawls memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan kekurangannya.
Telah lama disadari, bahwa equity (kepatutan) diperlukan untuk melengkapi keberlakuan keadilan. Equity dapat didefenisikan sebagai kebajikan yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional menurut akal sehatnya (L.B. Curzon, 1967:4). Equity dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak mengaturnya.
Kelalaian dalam praktek, dapat merubah wujud keadilan yang seharusnya berwatak kebajikan (virtue), menjadi bentuk pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Karakter keadilan adalah objektif, zakelijk dan umum, berarti keadilan yang demikian itu mutlak, memaksa dan dalam pelaksanaannya terlalu abstrak, sehingga tidak mempertimbangkan situasi keadaan person-person serta terlalu menyamaratakan. Kualitas individu serta kondisi-kondisi tertentu seharusnya juga menjadi perhatian tanpa mereduksi keadilan itu sendiri, malahan justeru menyempurnakan keberlakuannya. Karena itu, keadilan dalam prakteknya dikoreksi dan disandingkan dengan equity (kepatutan). Equity sangat mempertimbangkan aspek-aspek penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu itikad baik, maksud para pihak, situasi atau keadaan-keadaan, dan lain-lain (O. Notohamidjojo, 2011:13).
Dalam sistem civil law, prinsip-prinsip equity tercakup dalam azas-azas itikad baik, kepatutan dan kelayakan atau kepantasan. Yurisprudensi yang merumuskan penyalahgunaan hak, yang semula dibatasi pada pelanggaran undang-undang, kemudian didasakan pada hukum, dan pada perkembangan terakhir berdasarkan equity. Dalam hal ini hakim dituntut untuk memperhitungkan situasi dan keadaan yang melingkupi mereka yang melakukan pelanggaran. Pertimbangan-pertimbangan atas dasar equity ini diharapkan mengarahkan hakim pada putusan yang sedail-adilnya berdasarkan kepatutan, et aequo et bono.