Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Narapidana Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama
Dalam penelitian ini, Penulis juga memanfaatkan teori tentang Keadilan. Robert Reiner pernah menggambarkan perdebatan tentang keadilan sebagai suatu „essencially contested concept’. Pemahaman yang tepat tentang apa itu „keadilan‟ memang rumit dan abstrak, terutama bila dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang beragam (Robert Reiner; 2002:17). Sedangkan Plato mengganggap keadilan sebagai bagian dari virtue/kebajikan (Burhanudin Salam; 1997:117), dan Cicero hanya menilai seseorang sebagai “baik” dilihat dari perilaku keadilannya. Menurutnya, ada tiga kebajikan moral yaitu: keadilan, pengendalian diri dan sopan santun (E. Sumaryono; 1995:90).
Aristoteles menerangkan keadilan dengan ungkapan “justice consists in treating equals equally and unequalls unequally, in proportion to their inequality.” Untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional (O. Notohamidjojo; 2011:70).
Berangkat dari pendapat Aristoteles tersebut, dalam teori modern dikenal pandangan bahwa hasrat akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan.
John Locke, Rosseau, Immanuel Kant, dan John Rawls merupakan sejumlah pemikir yang memperdebatkan hakikat keadilan. Secara umum, para penulis tersebut menyadari masyarakat hukum tidak akan berjalan tanpa segala hak dan kewajiban yang ditimbulkannya. Tanpa adanya keadilan, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Keadilan memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi janjinya (Agus Yudha Hernoko; 2008:40).
John Rawls mengemukakan teori keadilan yang mengkritik teori-teori John Locke, Rosseau, dan Immanuel Kant karena ketiganya cenderung bersifat utilitarianisme dan instuisionisme. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill dikenal sebagai pencetus dan pengembang utilitarianisme yang kemudian juga dikritik oleh Robert Nozick dan Ronald Dworkin (Andre Ata Ujan; 1999:21). Jika Rawls menyebut utilitarianisme sebagai pandangan yang menilai baik buruknya tindakan manusia secara moral sangat tergantung pada baik buruknya konsekuensi tindakan tersebut bagi manusia, maka Dworkin menyebutnya sebagai teori “goal-based theory” dan menganggapnya telah gagal dalam menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan azas manfaat daripada azas hak, dan karenanya utilitarianisme tidak tepat dijadikan basis bagi konsep keadilan (Raymond Wacks; 1995:191).
Utilitarianisme cenderung menganggap bahwa kebahagiaan setiap orang adalah sama. Kepuasan yang umumnya dipahami dalam arti kepuasaan material, diangkat menjadi ukuran yang dianggap valid dan mengikat. Sehingga seolah-olah kepuasan tidak pernah dapat dikalkulasi secara matematis. Padahal dari aspek moral, dengan lebih mengutamakan azas manfaat dan mengesampingkan azas hak, tampaknya utilitarianisme mempunyai tujuan baik, yakni berupaya melalui pendekatan teleologis, menjembatani jurang antara prinsip hak dan prinsip manfaat, namun dalam praktiknya paham ini gagal memainkan peranannya. Beberapa kritikus menilai utilitarianisem tidak mampu menghadapi dua jenis permasalahan moral: hak dan keadilan (Manuel G. Velasquez; 2005:77).