Menu

Perlindungan Hukum Bagi Hak-Hak Narapidana Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama

Muhardi 18 Aug 2022, 08:45
Darsono, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Riau
Darsono, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Islam Riau

Pasal 1339 BW mencontohkan implementasi prinsip equity, yaitu: “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

Sebelum itu, Pasal 1338 ayat 3 BW mengatur bahwa, “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Contoh lainnya, adalah penerapan Pasal 1365 BW melalui putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, dalam kasus lindenbaum-cohen yang memutuskan : “yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang (1) melanggar hak orang lain; atau (2) bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; atau (3) bertentangan dengan kesusilaan; atau (4) bertentangan dengan kecermatan yang patut harus diperhatikan dalam lalu lintas mesyarakat terhadap diri dan barang orang lain” (J.H. Niewenhuis, 2012:116).

Sebelum munculnya putusan ini, perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigdaad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW diinterpretasi secara sempit hanya sebatas perbiuatan melanggar undang-undang (onwetmatige daad). Interpretasi ini trekesan sangat formalistik, karena yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum hanyalah sebatas yang sudah diatur dalam undang-undang. Sedangkan di luar pengaturan undang-undang meskipun merugikan orang lain bukan merupakan perbuatan melanggar hukum. Interpretasi yang sempit ini mengakibatkan terusiknya rasa keadilan masyarakat. Interpretasi teleologis-ekstensif terhadap Pasal 1365 BW pada dasarnya merupakan penerapan prinsip equity yang akhirnya mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.

Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar - yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Ini merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis (Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, 1400 H: 102).

Halaman: 678Lihat Semua