Bagi Orang Indonesia Keturunan Tionghoa di Yogyakarta, Hukum Ini Menjadi Alasan Mengapa Mereka Tidak Bisa Memiliki Tanah
Politik identitas rasial
Kus Sri Antoro, peneliti masalah agraria di Yogyakarta, menulis dalam esai 2015 di jurnal pertanian Indonesia Bhumi bahwa tidak ada dasar konstitusional bagi daerah untuk menerapkan hukum kolonial yang batal secara default ketika Indonesia merdeka. “Secara politik, diskriminasi terhadap etnis minoritas dalam kepemilikan tanah [di Yogyakarta] tampaknya sengaja diadopsi untuk melanggengkan politik identitas rasial. Ini membuat orang Cina dirugikan karena, untuk membenarkan kebijakan itu, mereka dicirikan sebagai [warga negara] yang tidak setia, pelit, oportunistik dan karena itu tidak dipercaya untuk memiliki tanah,” katanya kepada This Week in Asia.
Pengusaha Sam Siantara, 55, lahir dan besar di Yogyakarta, seperti ayahnya dulu. Namun pada 2016 ia pindah ke Denpasar, Bali, untuk memprotes praktik diskriminatif lahan. Siantara mengatakan tidak perlu memperbarui sewa setiap 30 tahun yang mengganggunya. Prinsip diskriminasi terhadap orang Indonesia Tionghoa itulah yang menurutnya tidak dapat diterima. Baginya, itu adalah masalah martabatnya sebagai warga negara. “Daripada membesarkan anak dan cucu saya di tempat di mana kami berada di kelas dua, saya memindahkan keluarga saya ke tempat lain.”
Kepentingan pribadi
Andry Lesmono, sekretaris jenderal Gerakan Menentang Diskriminasi (Granad), sebuah LSM yang berbasis di Yogyakarta, mengatakan Ombudsman negara telah memutuskan bahwa praktik tersebut adalah bentuk “maladministrasi” dan merekomendasikan penghapusannya.
Granad telah berulang kali menulis surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta bantuan tetapi sejauh ini tidak ada tindakan yang diambil. Antoro memiliki teori tentang kurangnya kemajuan di bidang ini.