Bagi Orang Indonesia Keturunan Tionghoa di Yogyakarta, Hukum Ini Menjadi Alasan Mengapa Mereka Tidak Bisa Memiliki Tanah
“Ada kepentingan ekonomi dari penguasa lokal dan kroni-kroninya yang terlibat di sini. Sementara korban mereka yang kaya [kelas atas China] memilih untuk tidak mengguncang perahu karena masih menguntungkan bagi mereka, para korban yang tidak terlalu kaya tetap diam karena takut akan penganiayaan,” jelasnya.
Pada 2012, seorang mahasiswa hukum Tionghoa Indonesia di Yogyakarta, Felix Winata, mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi negara itu terhadap hak prerogatif daerah dalam mengatur kepemilikan tanah. Dia kemudian menarik petisinya dan keluar dari universitas karena intimidasi dan intimidasi media sosial yang dia dan keluarganya terima.
Tantangan hukum lain terhadap dekrit 1975 diluncurkan di pengadilan Yogyakarta pada 2017 oleh Handoko, seorang Tionghoa Indonesia, tetapi gugatannya ditolak. Dia kemudian membawanya ke Pengadilan Tinggi Indonesia tetapi juga dibuang. Karena tidak ada kasus yang pernah diterima oleh yurisdiksi mana pun, kesultanan tidak harus mempertahankan status hukum khususnya di pengadilan. Sambil menyayangkan praktik diskriminatif di Yogyakarta, Kezia Dewi berpendapat bahwa hukum agraria Indonesia yang mengatur tanah dan sumber daya alam pada dasarnya baik.
“Ini tidak diskriminatif di atas kertas tetapi implementasinya tambal sulam dan tidak konsisten. Diakui, ini akan menjadi usaha besar untuk menyelesaikan sebagian besar masalah, banyak di antaranya berasal dari era kolonial. Tidak ada administrasi yang benar-benar ingin mengambilnya.”