Memanen Sinar Matahari Lewat Panel Surya Menuju Kemandirian Energi di Indonesia
Para pemimpin dunia telah menyuarakan dukungannya terhadap target peningkatan tiga kali lipat energi terbarukan di seluruh dunia sambil membatasi penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan gas yang menyebabkan pemanasan global ke atmosfer.
Peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di udara yang akhirnya memerangkap panas matahari di dalam atmosfer bumi, membuat bumi kini menjadi lebih hangat, yang berdampak pada perubahan pola cuaca dalam skala global.
Salah satu gas penyumbang emisi GRK adalah CO2 yang merupakan hasil dari pembakaran bahan bakar fosil. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terpadat ke empat di dunia, kini memiliki visi untuk memiliki sumber energi ramah lingkungan dan mampu mencapai emisi nol bersih pada tahun 2030.
Menurut laporan Climate Transparency Report 2022, Indonesia yang masih menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara, minyak bumi, dan gas bumi, menghasilkan lebih dari 81 persen listrik. Sementara energi terbarukan saat ini masih menyumbang sekitar 19 persen kebutuhan listrik di Indonesia.
Dari proporsi tersebut, tenaga air (hydro) menyumbang bauran sumber energi listrik terbesar yaitu 8%. Lalu, disusul biomassa dan limbah 5,3%; panas bumi (geothermal) 5,1%; energi angin di kawasan pesisir (wind on shore) 0,1%; dan energi surya (solar) 0,1%.
Dilansir dari Global Methane Tracker 2023, Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penghasil emisi metana antropogenik terbesar di dunia. Tiongkok jadi negara dengan penghasil emisi metana terbesar global 2022 sebanyak 55,7 juta ton, sementara Indonesia menduduki peringkat ke enam dengan menghasilkan 14,3 juta ton.