LGBTQ hingga Napi, Berikut 17 Kelompok Rentan di Pemilu Menurut Komnas HAM
Pramono kemudian menerangkan problem serupa juga terjadi di daerah lainnya. Intimidasi yang diterima kaum LGBT misalnya, saat namanya dipanggil berbeda dan dengan tampilan fisiknya di TPS, maka menjadi isu sensitif. Hal-hal ini, lanjut Komnas HAM, akan mengurangi minat kelompok LGBTQ ikut menyumbangkan suaranya.
"Saya setuju problem ini tidak terjadi di satu tempat, dari hasil pemantauan kita terjadi di semua tempat. Problem pertama misalkan antara identitas nama aslinya dengan ekspresi dianya itu kan berbeda, nama dia laki-laki, tapi ekspresi dia pakaiannya dan segala macam perempuan," terang dia.
"Ketika nanti dia dalam DPT nanti ditulis jenis kelaminnya apa, kan problem, nanti kalau dipanggil mereka dengan nama yang mana misalnya itu baru dari sisi pendataannya, di data dari identitas ekspresinya. Kedua soal persekusi, ketidaknyamanan saat di TPS misalnya ada sautan sautan 'suit-suit', sautan-sautan memanggil. Mereka menjadi tidak nyaman," tambah Pramono.
Komnas HAM lalu menyebut kelompok LGBT menjadi korban politisasi, pada musim Pilkada dan Pemilu. Misalnya ada caleg yang mengatakan akan memberantas LGBT, padahal caleg tersebut hanya ingin menaikkan jumlah pemilihnya dengan pernyataan kontroversial tersebut.
"Musim Pemilu Pilkada mereka rentan jadi korban politisasi. Jadi misalnya ada caleg-caleg partai-partai yang misalnya mengatakan kami anti LGBT kita akan memberantas LGBT, padahal itu sebenarnya ekspresi-ekspresi untuk kepentingan vote getting," jelas dia.
"Jadi untuk menarik simpati masyarakat kelompok tertentu misalnya, nah ini yang jauh lebih berbahaya. Kerentanan ini yang masih terjadi di masyarakat kita yang ini butuh waktu panjang untuk menyadarkan masyarakat untuk bisa menerima kehadiran siapapun termasuk ekspresi ekspresi kecenderungan seksualitas yang beragam. Jadi ini problem di banyak tempat," sambungnya.