Dokter Pertama yang Kampanyekan Cuci Tangan Dikucilkan dan Dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa, Tapi Saat Ini?
Klinik yang dikelola mahasiswa punya tingkat kematian 98,4 per 1.000, sedangkan yang dikelola bidan 36,2 per 1.000 kematian. Awalnya ketimpangan ini dianggap disebabkan oleh mahasiswa kedokteran pria yang "lebih kasar dibandingkan bidan" dalam menangani pasien.
Katanya, penanganan yang kasar ini membuat ibu lebih rentan untuk mengalami demam nifas - infeksi rahim sesudah melahirkan - yang dianggap penyebab utama kematian sesudah melahirkan di rumah sakit. Namun Semmelweis tidak yakin pada penjelasan itu.
Di tahun itu juga, kematian seorang koleganya yang terluka di tangan saat melakukan otopsi, membuka petunjuk bagi Semmelweis. Melakukan otopsi saat itu saat itu membawa risiko kematian. Melihat rekannya meninggal di Wina, Semmelweis melihat bahwa gejalanya mirip dengan perempuan yang mengalami demam nifas. Mungkinkah dokter yang bekerja di ruang bedah membawa "partikel mayat manusia" ke ruang bersalin?
Semmelweis mengamati banyak mahasiswa yang baru saja menangani otopsi, langsung membantu persalinan. Saat itu sarung tangan atau alat pelindung lain belum dipakai saat pembedahan, dan sering terlihat mahasiswa kedokteran masuk ke bangsal dan di pakaian mereka terbawa potongan daging atau jaringan.
Sesudah menyimpulkan bahwa demam nifas itu disebabkan oleh "materi infeksi", ia memasang baskom berisi air bercampur larutan kapur di rumah sakit. Ignaz Semmelweis menyarankan mencuci tangan dengan air yang dicampur larutan kapur sebelum operasi.
Dokter yang baru saja dari ruang bedah, diminta untuk mencuci tangan dengan cairan antiseptik ini sebelum masuk ke ruang persalinan. Tahun 1848 tingkat kematian di bangsal yang ditangani mahasiswa kedokteran turun drastis ke angka 12,7 per 1.000 kelahiran.