Tahukah Anda, Inilah Legenda Sosok Hantu di Istana Kepresidenan: Dari Noni Belanda Hingga Dyah Pitaloka
“Di muka istana yang terang benderang, kereta besar-kecil menurunkan penumpangnya sebelum meluncur ke tempat parkir di belakang. Ketika kami masuk, ruang dalam disinari lampu gas berbentuk mahkota dan lilin-lilin dari tempat lilin gantung. Tamannya dipenuhi lampion warna-warni. Andaikan suhu udara tidak begitu panas, kita serasa berada di ruang dansa di Paris, dengan wanita-wanita cantik yang mengenakan pakaian brokat, satin, sutera, dan perhiasan gemerlapan. Saya terkesan, tetapi sayang kaki saya bukan main sakitnya. Karena didorong sekian banyak orang, saya tidak bisa berhenti untuk memeriksa kaki saya. Akhirnya, tiba juga giliran saya untuk berjabat tangan dengan Gubernur Jenderal, ternyata ia ramah. Setelah berbicara sejenak Yang Mulia meninggalkan tempat kami,” ungkap Justus van Maurik dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
Kebiasaan gubernur jenderal Hindia Belanda menyelenggarakan pesta tak cuma berlangsung di Paleis Rijswijk semata. Undangan pesta dansa dan jamuan makan malam sering juga dilangsungkan di Paleis Buitenzorg atau Istana Buitenzorg (kini: Istana Bogor). Kala itu, pelancong asal Inggris, Charles Walter Kinloch yang mendapatkan kesempatan.
Ia berkunjung ke Hindia-Belanda pada 1852. Perjalanannya menyenangkan. Dewi fortuna berada dipihak Kinloch. Ia yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Hindia-Belanda langsung mendapatkan undangan pesta dari penguasa negeri koloni.
Undangan itu datang langsung dari Gubernur Jenderal Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Albertus Jacobus Duymaer van Twist (1851-1856). Kesempatan sekali seumur hidup itu begitu membekas baginya. Dalam kata lainnya: tidak dapat dilupakan.
“Kami mendapati semua yang hadir berdiri, para wanita berdiri berjajar di satu sisi ruangan, dan para pria di sisi lain; tak lama kemudian, sebuah pintu dibuka dari ujung jauh ruang resepsi, dan Gubernur Jenderal serta istrinya berjalan perlahan-lahan menuju ruangan. Para wanita dan pria langsung mundur, yang wanita menunjukkan rasa hormat, dan yang pria membungkuk, saat paduka mereka melewati jajaran pria dan wanita tersebut. Sekretaris kemudian berjalan maju dan secara formal memperkenalkan diri kami dan anggota wanita dalam perjalanan kami kepada tuan-nyonya rumah.”
“saat makan malam, kami mendapatkan kehormatan diberi tempat duduk di samping istri gubernur, ‘vis-a-vis’ dengan teman perjalanan wanita kami, yang duduk di sebelah kiri gubernur. Percakapan yang dilakukan sebagian dilakukan dalam bahasa Belanda, dan sebagian dalam bahasa Prancis. Yang Mulia sepertinya agak malu berbicara dalam bahasa Inggris, meski ia sepertinya memiliki pengetahuan yang cukup akan bahasa tersebut,” cerita Charles Walter Kinloch dalam buku Rambles in Java: Pengembaraan di Tanah Jawa (2019).