Kisah Soekarno yang Hidup Miskin Sejak Lahir, Tidak Punya Sepatu dan Tidak Bisa Membeli Pepaya
“Tapi saya tidak. Tidak pernah,” kata Bung Karno.
Kesedihan Bung Karno tentang kemiskinan semakin parah setiap Idul Fitri. Saat itu, seluruh umat Islam berpesta. Tapi tidak untuk keluarga Bung Karno. Keluarganya bahkan tidak pernah berpesta atau memberikan fitrah. Keluarganya, kata Bung Karno, tidak punya uang untuk itu. Jangankan berpesta di hari lebaran, sekedar main petasan Bung Karno hampir tidak pernah terasa. Dia tidak pernah punya uang saku. Bung Karno hanya bisa mengintip anak-anak lain yang sedang bermain petasan melalui lubang udara di kamar tidurnya.
“Di sekeliling ada suara petasan bermunculan di antara sorak-sorai teman-temanku karena kegembiraan. Betapa hancur hatinya yang kecil berpikir, mengapa semua teman saya entah bagaimana bisa membeli petasan satu sen itu, dan saya tidak bisa! Bung Karno.
Sederet pengalaman masa kecilnya memotivasi Bung Karno untuk memperjuangkan dan mempertahankan nasib orang miskin. Bung Karno dengan berani tampil sebagai lawan utama yang mengutuk kolonialisme dan kapitalisme. Kemiskinan menjadi dasar pengajaran Bung Karno untuk berjuang, mempertahankan, dan membawa kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Ideologi marhaenisme
Dalam perjalanan hidupnya, kemiskinan membentuk citra Bung Karno sebagai pemimpin. Sebagaimana diketahui, di luar kemiskinanlah sebuah ideologi muncul dari proses berpikir Bung Karno. Ideologi ini umumnya dikenal sebagai "marhaenisme".