Kisah Soekarno yang Hidup Miskin Sejak Lahir, Tidak Punya Sepatu dan Tidak Bisa Membeli Pepaya
RIAU24.COM - Proklamator Soekarno adalah orang yang memiliki kepedulian besar terhadap kemiskinan. Soekarno terlahir miskin. Soekarno dibentuk dari sana, hingga ia menyadari bahwa kemiskinan itu berbahaya. Kemiskinan bukan sekedar masalah ekonomi, tetapi bisa juga berupa krisis budaya atau perilaku.
Hampir di setiap kesempatan, Soekarno dengan bangga menegaskan bahwa dia hidup di tengah kemiskinan. Ya, Bung Karno memiliki status sosial sebagai priyai rendahan.
“Masa kecil saya tidak berbeda dengan David Copperfield. Saya lahir dalam kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Saya tidak punya sepatu. Saya mandi bukan di air yang keluar dari keran. "
“Saya tidak tahu sendok dan garpu. Ketiadaan yang keterlaluan ini bisa membuat hati bersedih,” kata Bung Karno, dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Hubungkan Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Bung Karno menambahkan, gaji yang diterima ayahnya, Soekemi, tidak seberapa. Bung Karno mengatakan, gaji itu hanya cukup untuk makan sehari-hari dan sewa rumah. Hidup semakin sulit saat Bung Karno berusia enam tahun.
Saat itu keluarga Bung Karno pindah ke Mojokerto. Bung Karno kemudian tinggal di lingkungan yang dihuni sebagian besar orang miskin. Namun, mereka selalu punya sedikit sisa uang untuk membeli pepaya atau makanan ringan lainnya. Sedangkan Bung Karno tidak. Ia lebih miskin dibanding orang yang bahkan dianggap miskin pada umumnya.
“Tapi saya tidak. Tidak pernah,” kata Bung Karno.
Kesedihan Bung Karno tentang kemiskinan semakin parah setiap Idul Fitri. Saat itu, seluruh umat Islam berpesta. Tapi tidak untuk keluarga Bung Karno. Keluarganya bahkan tidak pernah berpesta atau memberikan fitrah. Keluarganya, kata Bung Karno, tidak punya uang untuk itu. Jangankan berpesta di hari lebaran, sekedar main petasan Bung Karno hampir tidak pernah terasa. Dia tidak pernah punya uang saku. Bung Karno hanya bisa mengintip anak-anak lain yang sedang bermain petasan melalui lubang udara di kamar tidurnya.
“Di sekeliling ada suara petasan bermunculan di antara sorak-sorai teman-temanku karena kegembiraan. Betapa hancur hatinya yang kecil berpikir, mengapa semua teman saya entah bagaimana bisa membeli petasan satu sen itu, dan saya tidak bisa! Bung Karno.
Sederet pengalaman masa kecilnya memotivasi Bung Karno untuk memperjuangkan dan mempertahankan nasib orang miskin. Bung Karno dengan berani tampil sebagai lawan utama yang mengutuk kolonialisme dan kapitalisme. Kemiskinan menjadi dasar pengajaran Bung Karno untuk berjuang, mempertahankan, dan membawa kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
Ideologi marhaenisme
Dalam perjalanan hidupnya, kemiskinan membentuk citra Bung Karno sebagai pemimpin. Sebagaimana diketahui, di luar kemiskinanlah sebuah ideologi muncul dari proses berpikir Bung Karno. Ideologi ini umumnya dikenal sebagai "marhaenisme".
“Suatu hari di tanah Priangan, Bung Karno muda bertemu dengan seorang petani kecil bernama Marhaen. Perjumpaan ini kelak menjadi momentum penting dalam bentuk munculnya Marhaenisme.” Pemahaman membela nasib rakyat kecil, rakyat kecil tak bertanah petani atau petani kecil, buruh pabrik, dan siapapun yang tidak mempunyai sarana produksi, ”tulis dalam buku Prinsip Mengajar Marhaenisme Menurut Bung Karno (2001).
Penemuan ideologis adalah buah dari pengamatan di sekitarnya, termasuk masa kecilnya. Bung Karno meyakini bahwa sebagian besar penduduk Hindia adalah pekerja kecil. Kapitalisme, kata Bung Karno, adalah mulut kemiskinan dan kesengsaraan. Sistem kapitalis dapat mengeksploitasi orang lain. Namun konsep Marhaen Bung Karno terlihat berbeda dengan semangat sosialisme proletar yang digaungkan oleh pemikir sosialis, Karl Marx.
Di sini Bung Karno dipandang kritis terhadap dirinya sendiri, tidak sekadar mengambil konsep yang dikemukakan oleh para pemikir sosialis Barat. Dikutip Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014), konsep proletar hanya ada relevansinya di negara-negara industri Barat. Bagi masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat agraris hal tersebut tidak memungkinkan.
“Konsep Marhaen mewakili mayoritas anggota masyarakat yang sengsara dan tertindas, sedangkan proletariat hanya mencakup beberapa anggota masyarakat. Yang membedakan keduanya adalah bahwa keluarga Marhaen memiliki alat produksi, terapi kaum proletar tidak memiliki alat produksi dan hanya menjual jasa. Melalui Marhaenisme sebagai teori perjuangan, Soekarno mengubur sistem kapitalisme dan imperialisme dari muka bumi Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, tetapi rakyatnya miskin, ”tambah Peter Kasenda.
Pada akhirnya, pikiran itu menetap di kepala Kakak. Entah itu semasa sekolah, berjuang, diasingkan, hingga menjadi salah satu tokoh yang membawa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Putra pasangan Raden Sukemi Sastrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ini kemudian menjadikan bangsa Indonesia sejajar dan setara di dunia internasional. Bung Karno juga mempersatukan semua suku bangsa menjadi satu bangsa, yaitu: bangsa Indonesia.