Sengketa Lahan PT. RPI dan Masyarakat Terulang, Scale Up Tunggu Itikad Baik Perusahaan
Konflik ini bermula pada tahun 2012, alat berat melakukan steking kebun sawit masyarakat. Menurut ketua kelompok tani masyarakat, Suprihatin, para pekerja dan operator alat berat di lapangan mencatut wilayah yang ditanami kelapa sawit tersebut merupakan area konsesi PT RPI. Padahal, dari pengakuan Suprihatin, ia dan kelompok taninya telah berkebun sejak tahun 2006.
“Mereka melakukan aktifitas tersebut dengan dikawal oleh oknum aparat kepolisian bersenjata laras panjang. Beberapa masyarakat yang takut hanya bisa pasrah melihat kebun sawitnya diratakan dan diganti dengan tanaman akasia. Tidak ada proses ganti rugi lahan, beberapa pemilik kebun melakukan perlawanan dengan berdemo ke lokasi alat berat bekerja dengan menghentikan aktifitas perusahaan. Sawit yang berbuah tidak ditumbang, tapi di racun. Setiap sela tanah diantara tanaman sawit juga ditanami bibit akasia oleh perusahaan tanpa seizin pemilik kebun. Hal serupa dilakukan lagi pada tahun 2015,” jelasnya.
Kesewenangan perusahaan tidak hanya selesai di situ. Menurut Suprihatin, masyarakat pemilik kebun yang mencabut atau menebas tanaman akasia yang ditanam di sela-sela tanaman sawit di kebun mereka akan ditangkap dan dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan perusakan tanaman perusahaan. Hingga saat ini aktifitas tersebut masih terus dilakukan. Buruknya, hampir setiap bulan bahkan setiap minggu ada warga yang ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Jika merujuk ke belakang, sebelum dibuka dan ditanam kelapa sawit oleh masyarakat, wilayah ini merupakan wilayah kelola HPH PT. Dwimarta. Sejak awal Tahun 1990-an PT. Dwimarta beroperasi tebang pilih kayu hutan hingga tahun 1996. Setelah tahun 1996 PT. Dwimarta tidak beroperasi lagi. Namun di wilayah ini muncul banyak pondok sawmill yang dimiliki oleh cukong kayu dari Rengat dan Pekanbaru.
Hingga pada Tahun 2006, hutan di wilayah ini yang tersisa hanya semak belukar saja. Oleh sebab lahan tersebut ditinggal, masyarakat di beberapa Desa di Kecamatan Lubuk Batu Jaya membeli lahan di wilayah tersebut dari beberapa tokoh masyarakat lokal salah satunya mantan Kepala Desa Lubuk Batu Tinggal. Masyarakat kemudian mengkapling lahan dan menjual dengan harga yang bervariasi. Dari mulai harga 3 juta per pancang (satu pancang= 2 Hektar) hingga 7 juta per pancang, sesuai kondisi lahan.
Tidak ada surat tanah yang dikeluarkan, hanya sebatas kwitansi jual beli. Namun ketika perusahaan Rimba Peranap Indah (PT. RPI) masuk pada tahun 2012, perusahaan itu mangklaim bahwa wilayah ini adalah wilayah konsesi perusahaan. (rls)