Menu

Geger Wabah 'Sindrom Pipi Tertampar' di Jepang, Ibu Hamil-Anak Paling Berisiko

Devi 16 Dec 2024, 11:30
Geger Wabah 'Sindrom Pipi Tertampar' di Jepang, Ibu Hamil-Anak Paling Berisiko
Geger Wabah 'Sindrom Pipi Tertampar' di Jepang, Ibu Hamil-Anak Paling Berisiko

RIAU24.COM - Kasus parvovirus B19, yang menyebabkan eritema infeksiosum, umumnya dikenal sebagai sindrom pipi tertampar (slapped cheek syndrome) atau penyakit kelima (fifth disease) karena ruam merah khasnya di pipi meningkat di Jepang.
Penyakit tersebut menyebar luas di wilayah Kanto di Jepang timur dan wilayah lain di negara tersebut. Wabah besar dari penyakit ini pertama kali terjadi sejak tahun 2019.

Japan Society for Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology (JSIDOG) telah mengeluarkan peringatan yang menyatakan bahwa wabah ini dapat terus berlanjut dan berpotensi menyebabkan epidemi nasional hingga tahun 2025.

Virus ini menimbulkan risiko khusus bagi ibu hamil, karena dapat meningkatkan kemungkinan keguguran atau komplikasi pada bayi baru lahir jika ibu hamil terinfeksi untuk pertama kalinya dalam hidup mereka. Tak hanya itu, penyakit ini juga menyerang anak-anak.

Penyakit ini cenderung muncul kembali setiap empat hingga lima tahun, menyebar melalui droplet pernapasan dari bersin atau batuk, serta melalui barang-barang yang dipakai bersama. Gejala awal menyerupai flu biasa, diikuti oleh munculnya ruam merah di kedua pipi, yang biasanya berlangsung sekitar seminggu.

Menurut data dari sekitar 3.000 fasilitas medis yang melapor ke Institut Penyakit Menular Nasional Jepang, kasus mulai meningkat sekitar bulan Agustus.

Selama minggu 25 November hingga 1 Desember, terdapat 0,89 kasus per institusi medis di seluruh negeri, peningkatan sekitar 70 persen dari minggu sebelumnya.

Wilayah Tokyo Raya mengalami tingkat infeksi yang sangat tinggi, dengan kasus per institusi medis dilaporkan sebesar 3,49 di Prefektur Saitama, 3,02 di Tokyo, 2,17 di Prefektur Kanagawa, dan 2,1 di Prefektur Chiba. Imbauan kesehatan telah dikeluarkan di semua wilayah hukum ini.

JSIDOG memperkirakan bahwa 20 hingga 50 persen ibu hamil di Jepang sudah memiliki antibodi terhadap virus tersebut. Namun, infeksi pertama kali selama kehamilan dapat menularkan virus ke janin melalui plasenta.

Hal ini dapat mengakibatkan risiko keguguran atau lahir mati sebesar 6 persen dan kemungkinan kondisi seperti anemia atau pembengkakan pada janin sebesar 4 persen.

Hideto Yamada, direktur JSIDOG sekaligus kepala pusat keguguran berulang di Rumah Sakit Teine Keijinkai di Sapporo, menekankan pentingnya pencegahan.

"Wanita hamil sering kali tertular dari anak-anak, suami, atau anggota keluarga lainnya," jelasnya. "Mereka harus mengambil tindakan pencegahan di rumah, seperti mencuci tangan, mengenakan masker, dan menghindari kontak dekat seperti berciuman selama wabah," dikutip dari The Mainichi. ***