Menu

Warga Jakarta Gugat Aturan ke MK, Bisakah Hidup Tanpa Agama di Indonesia? 

Zuratul 24 Oct 2024, 10:12
Warga Jakarta Gugat Aturan ke MK, Bisakah Hidup Tanpa Agama di Indonesia? 
Warga Jakarta Gugat Aturan ke MK, Bisakah Hidup Tanpa Agama di Indonesia? 

RIAU24.COM -Warga Cipayung, Jakarta Timur, Raymond Kamil mengajukan uji materi terhadap pasal di sejumlah undang-undang dari mulai UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) hingga UU Hak Asasi Manusia (HAM) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Raymond yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan menyatakan telah mengalami kerugian konstitusional.

"Bahwa hak konstitusional para pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan dirugikan dengan berlakunya Undang-undang yang menjadi objek permohonan dan kerugian bersifat aktual dan/atau menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dan memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata," ujar Teguh Sugiharto selalu kuasa hukum pemohon dalam sidang yang berlangsung Senin, 21 Oktober 2024.

Perkara tersebut teregister dengan nomor: 146/PUU-XXII/2024. Pemohon atas nama Raymond Kamil dan Indra Syahputra. 

Perkara ini diperiksa dan diadili ketua majelis panel Arsul Sani dengan anggota Arief Hidayat dan Enny Nurbaningsih.

Sejumlah pasal dimaksud terdiri dari Pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Pemerintah, menurut pemohon, mengatakan aparatur pemerintah memahami kebebasan beragama hanya dalam makna positif yang dibatasi sebagai kebebasan memilih salah satu di antara tujuh pilihan yang disediakan dalam kolom KTP dan KK.

Dampaknya, kebebasan dalam makna negatif yaitu tidak beragama dan selain satu dari pilihan yang ada tidak mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan atau setidaknya terjadi kekaburan.

Kemudian pemohon menguji Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006 tentang Adminduk. 

emerintah dinilai hanya memberikan pilihan isian kolom agama pada KTP dan KK terbatas hanya pada enam agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut pemohon, secara substansial hal tersebut menyalahi pendapat MK dalam putusan nomor: 140/PUU-VII/2009 yang mengamanatkan negara harus mengakui dan melindungi seluruh agama yang dipeluk rakyat Indonesia dan ada di Indonesia.

"Maka, para pemohon dan seluruh penduduk yang pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani," ucap Teguh menjelaskan permohonan kliennya itu.

Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) UU 1/ 1974 tentang Perkawinan. Karena pemohon tidak memeluk agama dan kepercayaan, maka hilang pula hak untuk melangsungkan perkawinan yang sah yang digantungkan secara bersyarat pada pelaksanaan ritual agama, ritual perkawinan menurut ketentuan agama.

Pemohon juga menguji Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di mana anak-anak pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan tetap diwajibkan mengikuti mata pelajaran agama.

"Dan nantinya, ini anak pemohon I (Raymond Kamil) masih belum kuliah. Ketika mahasiswa maka diwajibkan mengikuti mata kuliah pendidikan agama. Maka, hal dimaksudkan adalah pemaksaan oleh negara yang bertentangan dengan hak memilih pendidikan,"kata Teguh.

Selanjutnya pemohon mempermasalahkan Pasal 302 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP. Karena tidak memeluk agama dan kepercayaan, pemohon menilai sangat berpotensi terjadi persangkaan melakukan tindak pidana saat mengemukakan pendapat tanpa usur melawan hukum sedikit pun di muka umum.

(***)