Jepang Dukung Peraturan 4 Hari Kerja dalam Seminggu Karena Hal Ini
RIAU24.COM - Di Jepang, setidaknya 54 orang meninggal setiap tahun karena terlalu banyak bekerja, demikian ungkap buku putih pemerintah.
Sikap masyarakat sedemikian rupa sehingga bekerja lembur dan berjam-jam dianggap keren di Jepang, yang mengarah pada masalah ‘karoshi,’ yang berarti ‘kematian karena terlalu banyak bekerja’ dalam bahasa Jepang.
Sekarang, pemerintah Jepang mendorong perubahan besar.
Mereka meminta perusahaan dan karyawannya untuk mengikuti model empat hari kerja seminggu.
Model ini pertama kali didukung oleh anggota parlemen pada tahun 2021 tetapi saat ini hanya delapan persen perusahaan Jepang yang mengizinkan karyawan mereka mengambil cuti setidaknya tiga hari seminggu.
Data dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan mengungkapkan bahwa tujuh persen perusahaan hanya menawarkan satu hari libur yang diamanatkan secara hukum per minggu.
Kampanye ‘reformasi gaya kerja’ pemerintah berfokus pada mempromosikan jam kerja yang lebih pendek dan pengaturan fleksibel lainnya bersama dengan batas lembur dan cuti tahunan berbayar.
Kementerian mengatakan juga terbuka untuk menawarkan konsultasi gratis, hibah, dan perpustakaan kisah sukses yang berkembang sebagai motivasi lebih lanjut.
"Dengan mewujudkan masyarakat di mana pekerja dapat memilih dari berbagai gaya kerja berdasarkan keadaan mereka, kami bertujuan untuk menciptakan siklus pertumbuhan dan distribusi yang baik dan memungkinkan setiap pekerja untuk memiliki pandangan yang lebih baik untuk masa depan," tulis kementerian di situs webnya.
Masalah terlalu banyak bekerja di Jepang
Pergi berlibur di Jepang dianggap tabu.
Karyawan mengambil cuti pada hari-hari ketika rekan kerja mereka juga tidak ada, biasanya selama liburan Bon di musim panas dan sekitar Tahun Baru, sehingga tidak ada yang bisa menuduh mereka tidak peduli.
Sampai sekarang, 85 persen pekerja melaporkan mendapatkan dua cuti mingguan tetapi tantangan tetap ada mengenai jam lembur.
Pemerintah berpikir bahwa masalah kerja berlebihan ini mengarah pada masalah besar lain yang dapat terbukti menghancurkan ekonomi Jepang: menurunnya angka kelahiran.
Populasi usia kerja diperkirakan akan menurun 40 persen menjadi 45 juta orang pada tahun 2065, dari 74 juta saat ini, menurut data pemerintah.
Dengan mempromosikan keseimbangan kehidupan kerja yang sehat, pemerintah berharap dapat menopang tingkat kelahiran dan mengatasi kekhawatiran mengenai populasi usia kerja.
(***)