Gelar S2nya Jadi Perbincangan, Bamsoet Ngaku Aneh dan Reputasi Dirusak
RIAU24.COM - Kontroversi pengajuan guru besar Bambang Soesatyo (Bamsoet) gegara jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Bamsoet menyelesaikan S2-nya terlebih dahulu dibanding S1.
Menanggapi hal ini, Bamsoet menjelaskan sebelum adanya Undang-Undang No 12 Tahun tentang Perguruan Tinggi, dimungkinkan bagi seseorang untuk mengambil kuliah program pascasarjana (S2) dengan menggunakan ijazah sarjana muda (bukan D3) ditambah dengan pengalaman kerja.
Bahkan, sebelum adanya UU No. 12 Tahun 2012, jabatan profesor saat itu bisa diberikan dengan pengabdian akademik tanpa harus melalui jenjang S2 atau S3 secara formal.
Jabatan di antaranya diberikan kepada Prof. R. Soebekti SH dan Prof. Punadi Purbacaraka SH, Prof Purnadi Purbacaraka, Prof Natabaya, Prof Malik Fajar dan lainnya.
Bamsoet mengatakan saat itu undang-undang yang mengatur tentang pendidikan masih menggunakan UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU No. 2 tahun 1989, tidak diatur secara rigid tentang jenjang dan syarat untuk mengikuti program pendidikan lanjutan seperti diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun tentang Perguruan Tinggi.
"Sangat aneh bila saat ini masih ada terus mempermasalahkan gelar S2 saya. Pernyataan yang disampaikan sangat tendensius dan menyerang serta merusak reputasi saya baik sebagai dosen ataupun Ketua MPR. Padahal, mereka tidak memahami dengan pasti aturan yang berlaku saat itu sebelum berlakunya UU Dikti No 12 tahun 2012," ujar Bamsoet, Sabtu (6/7).
Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur ini pun menjelaskan setelah lulus SMA Negeri 14 Jakarta pada tahun 1981, ia melanjutkan pendidikan ke Akademi Akuntansi Jayabaya dengan program sarjana muda, bukan program diploma atau D3, dan lulus tahun 1985. Selama kuliah di Akademi Akuntansi Jayabaya, Bamsoet juga membagi waktu untuk bekerja.
Usai meraih gelar sarjana muda dari Akademi Akuntansi Jayabaya, Bamsoet melanjutkan pendidikan program S2 Institut Manajemen Newport Indonesia (IMNI) dengan menggunakan ijazah sarjana muda ditambah dengan pengalaman kerja sebagai wartawan dan sekretaris redaksi, sesuai dengan persyaratan IMNI.
Di saat bersamaan, Bamsoet juga mendaftar untuk melanjutkan kuliah Sarjana Muda Akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STEI) untuk memperoleh gelar sarjana S1 dan selesai tahun 1992.
"Keinginan saya untuk terus belajar sangat kuat walau duit cekak," papar Bamsoet.
Bamsoet mengaku saat itu bisa menyelesaikan pendidikan S2 di IMNI lebih cepat dibanding S1 di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia. Dengan demikian, ijazah S2 IMNI keluar tahun 1991. Sementara, ijazah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia diperoleh untuk tahun kelulusan 1992.
"Sehingga orang hanya melihatnya saya lulus S2 terlebih dahulu dibanding S1. Hal ini dapat saya pertanggungjawabkan. Tidak ada penyimpangan yang dilakukan. Saya mengikuti proses belajar mengajar dengan tekun sambil bekerja. Saya juga aktif di Perkumpulan Ikatan Alumni IMNI dan Ikatan Alumni STEI hingga saat ini," kata Bamsoet.
Ketua DPR ke-20 ini pun memaparkan sejak adanya Undang-Undang No. 12 tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi, aturan untuk memperoleh gelar S2 lebih diperketat. Syaratnya, harus terlebih dahulu memperoleh gelar sarjana atau sederajat.
"Hal ini pun sudah pernah diklarifikasi Menristek Muhammad Nasir pada tahun 2019 dengan mengatakan bahwa Ijazah S2 saya sah karena keluar tahun 1992, jauh sebelum UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terbit. Jadi dimana salahnya jika saya mendaftar S2 menggunakan ijazah sarjana muda dengan pengalaman kerja? Karena memang saat itu hal tersebut dimungkinkan serta tidak ada peraturan ataupun undang-undang yang dilanggar," papar Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, berdasarkan ijazah S2 dari IMNI dan pengalaman kerja khususnya di bidang hukum, dirinya mengambil kuliah pascasarjana S3 (Doktor) pada Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 2023 dengan predikat yudisium cum laude.
Ia dapat mempertahankan disertasinya 'Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) Sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan Indonesia Emas' di hadapan 10 penguji.