Ini Sosok Presiden Tajikistan Emomali Rahmon yang Dinilai Anti-Islam
RIAU24.COM - Presiden Tajikistan Emomali Rahmon telah memimpin negara itu selama 28 tahun. Pada 2020 lalu, dia kembali terpilih sebagai presiden negara itu untuk kelima kalinya secara berturut-turut.
Kali ini Emomali mendapat sorotan setelah kembali menerapkan aturan anti-Islam dengan mengesahkan larangan penggunaan hijab pada pekan lalu.
Padahal, menurut sensus penduduk 2020 lalu, sebanyak 96 persen populasi Tajikistan merupakan umat Muslim. Larangan hijab ini ternyata kebijakan anti-Islam terbaru yang diterapkan Tajikistan.
Beberapa aturan anti-Islam lainnya seperti melarang laki-laki menumbuhkan janggut, menggusur ribuan masjid, hingga melarang penggunaan nama berbau Arab dan Islam juga telah berlaku di negara Asia Tengah pecahan Uni Soviet itu selama ini.
Larangan pembentukan partai politik Islam, larangan penggunaan sepiker masjid untuk mengumandangkan adzan, dan penggunaan bahasa Arab di sekolah-sekolah juga berlaku di Tajikistan.
Kalender nasional Tajikistan bahkan tidak memberi warna merah pada dua hari besar Islam: Idulfitri dan Idul Adha. Namun, pemerintah selama ini selalu mengumumkan kedua tanggal itu sebagai Hari Libur Nasional.
Kebijakan anti-Islam ini tak lepas dari tangan besi sang presiden "seumur hidup" Tajikistan, Emomali Rahmon.
Sejak 1994 berkuasa, Rahmon terus berupaya menjadikan Tajikistan negara sekuler dengan mempromosikan nilai-nilai paham tersebut.
Rahmon ingin mencegah praktik keagamaan dan keyakinan yang ia anggap asing, mengakar dalam kehidupan politik dan sosial negara tersebut.
Siapa sosok Emomali Rahmon dan bagaimana dia bisa berkuasa di Tajikistan?
Rahmon bisa dibilang sosok yang tak sengaja menjadi Presiden seumur Tajikistan karena dukungan keadaan. Pada 1991, Tajikistan baru merdeka dari Uni Soviet dan tokoh komunis Rahmon Nabiyev menjadi presiden pertama Tajikistan usai menang 57 persen suara dalam pemilu langsung pertama negara tersebut.
Meski merdeka, kondisi Tajikistan jauh dari kata stabil hingga memicu pemberontakan serta demonstrasi berlangsung di mana-mana.
Pada 1992, demo anti-pemerintah di Ibu Kota Dushanbe berubah menjadi perang sipil antara pasukan pemerintah, kelompok Islam, dan kelompok pro-demokrasi. Perang sipil ini menewaskan 20 ribu orang dan membuat ekonomi Tajikistan yang baru merdeka makin terpuruk.
Dikutip Radio Free Europe, kondisi ini memaksa Nabiyev mundur pada September 1992. Saat itu, jabatan presiden ditiadakan sehingga ketua parlemen Tajikistan yang saat itu diduduki Rahmon otomatis menjadi kepala negara de facto.
Meski begitu, Rahmon mulai menancapkan tangan besinya dengan memberangus semua partai politik oposisi dan menyisakan Partai Komunis Tajikistan sebagai satu-satunya partai politik sah di negara itu.
Rahmon baru menjabat sebagai presiden pada 1994 usai menang "pemilu semu". Di tahun itu pula, Rahmon berhasil mencapai perjanjian gencatan senjata dengan pemberontak Islam.
Pada 1997, rezim Rahmon dan kelompok pemberontak United Tajik Opposition (UTO) menyepakati perjanjian damai. Meski mengampuni para oposisi, Rahmon mengontrol ketat gerakan oposisi dan pemberontak.