Boikot, Framing dan Persaingan Usaha, Yuk Cerdas Memahaminya!
RIAU24.COM - Belakangan muncul informasi di social media yang menyerukan masyarakat agar lebih teliti dalam melakukan boikot. Karena tidak sedikit perusahaan lokal yang terafiliasi dengan israel tetapi gencar memanfaatkan isu boikot untuk kepentingan lain, antara lain dengan menyebutkan secara terus menerus brand kompetitornya meskipun brand tersebut tidak disebut dalam daftar produk yang harus diboikot, baik oleh gerakan boikot dari Palestina seperti BDN Nash maupun masuk dalam daftar perusahaan yang oleh PBB sebagai perusahaan yang terafiliasi dengan Pemerintah Israel.
Masyarakat juga mencurigai adanya framing boikot yang dilakukan pihak-pihak tertentu melalui ormas-ormas yang tidak resmi guna memanfaatkan isu bela Palestina untuk kepentingan bisnis dan menjatuhkan produk pesaing. Mereka sering melakukan framing dengan hanya menyebut beberapa nama produk tertentu saja sebagai produk terafiliasi Israel, baik melalui media-media dan sosial media untuk mempengaruhi masyarakat agar tidak menggunakan produk tersebut. Salah satunya adalah produk air minum dalam kemasan (AMDK) ternama. Padahal produk AMDK tersebut tidak masuk dalam produk yang disebut oleh The Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) Movement, oleh MUI maupun tercantum dalam daftar perusahaan yang terafiliasi Israel yang dikeluarkan oleh PBB.
“Sehubungan dengan banyaknya berseliweran nama-nama produk pro Israel atau merek yang terafiliasi dengan negara tersebut maka MUI perlu menjelaskan bahwa MUI tidak pernah mengeluarkan daftar produk dari perusahaan-perusahaan yang mendukung dan atau terafiliasi mendukung Israel. Semua itu adalah hoaks,” ujar Wakil Ketua Umum MUI, Anwar abbas dalam sebuah acara jumpa persnya beberapa waktu lalu.
Menurut Abbas, yang diharamkan oleh MUI dalam fatwanya bukanlah produknya apalagi produk itu sudah mendapatkan sertifikat halal. “Yang diharamkan oleh MUI dalam fatwanya itu adalah dalam mendukung tindakan Israel yang sangat biadab yang tidak mengenal istilah perikemanusiaan dan perikeadilan,” ujarnya.
Hal yang sama juga ditegaskan The Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) Movement yang tidak memasukkan Danone dalam daftar produk yang diboikot.
Dikutip dari akun X (twitter), BDS Indonesia merilis sejumlah brand yang patut diboikot untuk menekan agresi Israel ke Palestina. “Jadi, harus boikot mana nih? Kok banyak banget brand yang masuk di daftar-daftar boikot yang viral? Mulai dari mana dongs? Kok list di BDS malah lebih sedikit?,” tulis BDS di akun X.
“Boikot dengan target yang selektif agar efektif,” sambung pernyataan BDS Indonesia itu.
Agar boikot dengan target tersebut diharapkan dapat berhasil, BDS Indonesia menyarankan agar orang Indonesia fokus pada sedikit perusahaan yang dipilih secara teliti supaya dampaknya maksimal. “Karena, daftar yang terlalu panjang malah bikin strategi kita tidak efektif, dan sulit untuk melakukan boikot secara jangka panjang,” lanjut BDS.
Adapun target boikot Utama yang efektif menurut BDS Indonesia adalah AXA, PUMA, Carrefour, Hp, Siemens, SodaStream, dan Ahava. Untuk target divestasi terdiri dari Elbit System, HD Hyundai/Volvo/CAT/JCB, Barclays, CAF, Chevron, HikVision/TKH Security. Sedang target tekanan masyarakat (Non Boikot) adalah Google dan Amazon, Airbnb/Booking/expedia, Disney, Booking.com, dan Expedia. Sementara, untuk target boikot lainnya terdiri dari Domino, McDonald’s, Papa, Johns, Burger King, Pizza Hut, dan Wix.
Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia (HAM) atau OHCHR merilis daftar nama-nama perusahaan yang jelas-jelas terafiliasi dalam mendukung agresi Israel ke Palestina. Di antara nama-nama perusahaan tersebut, nama perusahaan Danone tidak termasuk dalam daftar.
Pakar pemasaran, Hermawan Kartajaya, mengingatkan agar industri-industri lokal tidak memanfaatkan situasi konflik Israel-Palestina ini untuk kepentingan bisnisnya sendiri dengan sengaja menjatuhkan para pesaingnya.
“Masalah politik negara lain hendaknya jangan dibawa-bawa untuk melakukan politisasi bisnis. Artinya, menggunakan masalah politik dengan menjadikan isu boikot itu untuk sengaja menjatuhkan produk-produk pihak lain,” ujarnya.
Menurutnya, kalau isu boikot itu murni dari masyarakat sendiri tanpa dibacking pihak-pihak tertentu, itu tidak masalah. Nanti juga setelah konflik redah, isu boikot ini akan hilang secara seketika. Dan dia mengingatkan agar perusahaan yang melakukan kecurangan itu berhati-hati karena bisa terjadinya backfire ke mereka jika situasi kembali reda.
Sementara, pakar persaingan usaha, Ningrum Natasya Sirait mengatakan fatwa yang dilakukan oleh organisasi tertentu terhadap produk-produk Israel dan afiliasinya itu hanya sebagai gerakan moral saja dan kurang efektif untuk menurunkan omzet perusahaan yang diboikot. “Karena, fatwa itu kan tidak wajib hukumnya. Bisa dilakukan dan bisa tidak, tergantung masyarakatnya,” tukasnya.
Lain halnya menurut Ningrum, jika yang melakukan fatwa itu adalah negara. “Itu jelas akan berdampak terhadap penurunan omzet perusahaan yang diboikot karena wajib hukumnya,” ucapnya. ***