Buruknya Kesehatan Mental di Singapura, Banyak Anak Muda Tak Bahagia-Depresi
RIAU24.COM - Singapura terkenal sebagai salah satu negara paling bahagia di Asia secara statistik. Meski begitu, ternyata tak sedikit kaum generasi muda di sana justru merasa tak bahagia.
Menurut laporan Kebahagiaan Dunia Tahun 2024 di Singapura, generasi muda saat ini kurang bahagia dibandingkan orang tua mereka. Data juga menunjukkan adanya kesenjangan kebahagiaan, yakni mereka yang berusia di atas 60 tahun lebih bahagia dibandingkan mereka yang berusia di bawah 30 tahun.
Psikiater di Gleneagles Medical Centre, Dr Lim Boon Leng, mengatakan dalam interaksinya dengan orang-orang muda di Singapura, ia memperhatikan bahwa mereka sering kali merasa lesu dan lelah. Bahkan yang paling mengkhawatirkan, kata Lim, adalah keluhan tentang kurangnya pengarahan diri sendiri dan perasaan tidak berarti dalam hidup mereka.
"Kami memiliki banyak bukti yang menunjukkan buruknya kesehatan mental generasi muda Singapura," kata Lim, dikutip dari CNA.
Menurut survei yang dilakukan oleh Duke-NUS Medical School dan Institute of Mental Health (IMH) pada tahun 2022, 12 persen individu muda menunjukkan gejala yang mirip dengan depresi, sementara sekitar 13 persen menunjukkan gejala yang mirip dengan kecemasan. Secara keseluruhan, 16,2 persen remaja melaporkan memiliki gejala yang sesuai dengan setidaknya salah satu dari kondisi tersebut.
Sejalan dengan penelitian-penelitian ini, proporsi tahunan anak-anak atau remaja yang diberi resep antidepresan meningkat dari 3,4 persen menjadi 4,1 persen selama lima tahun antara tahun 2017 dan 2021 di Singapura. Demikian pula, resep pada orang dewasa muda meningkat dari 11,2 persen menjadi 15,5 persen selama periode yang sama.
Meningkatnya tantangan kesehatan mental yang dihadapi kaum muda telah mencapai titik kritis.
Apa Pemicunya?
"Untuk memahami mengapa generasi muda Singapura tidak bahagia, ada beberapa penyebab yang sering terlintas dalam benak kita: media sosial, serta lingkungan akademis dan kerja," kata Lim.
Generasi muda saat ini menghadapi dunia yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Dengan pesatnya kemajuan teknologi, kehadiran media sosial di mana-mana, dan masyarakat yang semakin mengglobal, berbagai pemicu stres yang unik pun muncul. Meskipun sosial media dirancang untuk berkomunikasi dengan orang lain, sering kali menumbuhkan rasa keterasingan dan ketidakmampuan.
Misalnya, media sosial dapat memutarbalikkan kenyataan, memberikan tolok ukur yang tidak realistis bagi kesuksesan dan kebahagiaan pribadi. Paparan terus-menerus terhadap gambaran kehidupan orang lain yang dikurasi dapat menyebabkan perasaan tidak mampu, cemas, dan depresi.
Banyak anak muda yang mengeluh bahwa alih-alih membentuk persahabatan dalam dinas nasional penuh waktu atau bersosialisasi di kampus, sebagian besar interaksi kini dilakukan dalam obrolan grup. Mereka kesulitan menemukan waktu atau peluang untuk bertemu orang baru dan kesulitan mencari hubungan romantis yang bermakna dari aplikasi kencan.
Di Singapura, sistem pendidikan masih bertumpu pada keberhasilan akademis. Hal ini dapat menguras tenaga secara psikologis dan emosional, karena generasi muda sering kali merasa bahwa mereka berada dalam perlombaan tanpa henti untuk mencapai keunggulan akademis, sebuah perlombaan dengan imbalan yang sulit didapat dan tidak berwujud.
Bahkan bagi mereka yang memiliki prestasi akademik tinggi, janji akan masa depan yang memuaskan dan terjamin masih dipertanyakan mengingat biaya hidup yang terus meningkat.
"Kenyataan yang menakutkan bahwa meskipun mereka telah berupaya sebaik-baiknya, mereka tidak mungkin melampaui kesuksesan orang tua mereka, dalam masyarakat yang telah mencapai tingkatan yang luar biasa, menambah kompleksitas yang ada," kata Lim.
"Lingkungan ini dapat menyebabkan kelelahan dan mempertanyakan tujuan upaya mereka, sehingga mengurangi nilai kerja keras dan pencapaian mereka," lanjutnya. ***