Tren Pernikahan Baru di Jepang, Berkeluarga Tanpa Cinta
RIAU24.COM - Semakin banyak generasi muda di Jepang yang melakukan perkawinan yang tidak melibatkan cinta ataupun seks. Tren baru pernikahan itu memiliki istilah 'friendship marriage' atau 'pernikahan persahabatan'.
Namun jenis pernikahan ini bukan semata-mata menikah dengan sahabat. Faktanya pasangan yang menikah dengan pengaturan ini biasanya saling tidak mengenal satu sama lain. Beberapa kelompok di antaranya termasuk individu aseksual, homoseksual, dan heteroseksual yang tak ingin melibatkan diri dengan pernikahan tradisional.
Colorus, sebuah lembaga yang mengklaim sebagai yang pertama dan satu-satunya di Jepang yang khusus menangani pernikahan persahabatan, mengatakan sejak berdirinya lembaga ini pada bulan Maret 2015, sekitar 500 anggota telah membentuk rumah tangga perkawinan persahabatan, dan beberapa di antaranya telah membesarkan anak.
Pernikahan persahabatan didefinisikan sebagai "hubungan hidup bersama berdasarkan minat dan nilai bersama." Ini bukan tentang cinta romantis atau menikahi sahabat.
Dalam hubungan seperti itu, pasangannya adalah pasangan sah, tetapi tanpa cinta romantis atau interaksi seksual. Pasangan mungkin tinggal bersama atau terpisah. Jika mereka memutuskan untuk mempunyai anak, mereka mungkin memutuskan untuk menggunakan inseminasi buatan.
Kedua individu bebas menjalin hubungan romantis dengan orang lain di luar pernikahan, asalkan ada kesepakatan bersama.
"Perkawinan persahabatan itu seperti mencari teman sekamar yang memiliki minat yang sama," jelas seseorang yang sudah menjalin hubungan seperti itu selama tiga tahun kepada SCMP.
Sebelum menikah, pasangan biasanya menghabiskan waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk menyepakati hal-hal kecil dalam hidup mereka, seperti apakah akan makan bersama, bagaimana membagi pengeluaran, siapa yang mencuci pakaian dan bagaimana mengalokasikan ruang di lemari es.
Diskusi semacam itu mungkin tampak tidak romantis, namun hal ini telah membantu sekitar 80 persen pasangan untuk hidup bahagia bersama dan dalam banyak kasus memiliki anak, kata Colorus.
Siapa yang melakukannya?
Individu yang tertarik pada pernikahan persahabatan rata-rata berusia 32,5 tahun dengan pendapatan melebihi rata-rata nasional, dan sekitar 85 persen memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi, menurut Colorus. Tren ini sangat menarik bagi individu aseksual dan homoseksual.
Banyak orang aseksual, yang tidak mampu merasakan hasrat seksual atau jatuh cinta, masih mendambakan koneksi dan persahabatan. Beberapa generasi muda heteroseksual, yang tidak menyukai pola pernikahan tradisional atau hubungan romantis, namun rentan terhadap tekanan masyarakat, juga telah menerima tren baru ini.
Sekitar 75 persen orang Jepang berusia tiga puluhan masih memandang pernikahan sebagai tujuan hidup, seperti yang dilaporkan oleh Kantor Kabinet Jepang. Namun, 47,2 persen pasangan menikah di Jepang belum melakukan hubungan seks dalam sebulan terakhir, dan jumlahnya terus meningkat, menurut survei tahun 2016.
Di Jepang, menikah mempunyai keuntungan pajak dan masih sangat sulit bagi perempuan lajang untuk memiliki anak. Lebih dari 70 persen pasangan dalam pernikahan persahabatan melakukan hal tersebut untuk memiliki anak.
"Meskipun jenis hubungan ini terkadang berakhir dengan perceraian, keuntungannya termasuk menikmati manfaat kebijakan, persahabatan dan membantu mereka yang merasa tersesat, tidak menyukai pernikahan tradisional, atau menganggap diri mereka dikucilkan secara sosial", kata Colorus. ***