Ini yang Terjadi Pada Jakarta Jika UU IKN Sebagai Ibu Kota Negara Berlaku
RIAU24.COM -Status Kota Jakarta, apakah masih sebagai Ibu Kota Negara, saat ini tengah menjadi perdebatan.
Banyak polemik yang muncul menyusul bunyi klausul dalam UU Ibu Kota Negara (UU IKN).
Dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Selasa (5/3) lalu, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas menyebut bahwa UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang DKI Jakarta sebagai ibu kota negara habis statusnya pada 15 Februari lalu.
Status UU tersebut yang disebut telah kedaluwarsa, kata dia, merupakan implikasi dari bunyi Pasal 41 ayat 2 UU IKN. Di sana menyebutkan, UU DKI sebagai ibu kota telah kehilangan statusnya dua tahun setelah UU IKN disahkan.
UU IKN sendiri resmi disahkan pada 15 Februari 2022. Artinya, per 15 Februari 2024 lalu, Jakarta tak lagi menjadi ibu kota.
"RUU DKI itu dia kehilangan statusnya tanggal 15 Februari kemarin. Kan itu implikasi dari UU IKN. Iya dua tahun [setelah UU IKN diundangkan]. Nah, [UU DKI] itu kan berakhir 15 Februari," kata Supratman di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta.
Status IKN Nusantara, sebagai Ibu Kota baru pengganti Jakarta patut dipertanyakan. Pasalnya, Presiden Joko Widodo hingga kini belum menerbitkan Keppres yang menjadi legitimasi Nusantara di Kalimantan Timur sebagai IKN.
Status Keppres penting sebab telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 39 UU IKN. Di sana menyebutkan, Jakarta masih sebagai Ibu Kota hingga terbitnya Keppres. Sialnya, bukan saja soal Keppres, RUU DKJ, sebagai UU baru yang mengatur status Jakarta usai tak lagi menjadi ibu kota kini juga belum dibahas oleh DPR.
"Sekarang DKI ini enggak ada statusnya. Itu yang membuat kita harus mempercepat," kata dia.
Pakar hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riwanto tak ragu menyebut Jakarta kini bukan lagi sebagai Ibu Kota negara.
Pernyataan Agus merujuk pada bunyi Pasal 39 dan 41 UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN. Pasal itu mengatur UU DKI Jakarta harus direvisi paling lama dua tahun setelah UU IKN diundangkan.
Namun, hingga dua tahun ini, RUU DKJ belum juga diselesaikan oleh DPR.
"Berarti Februari 2024 pas dua tahun, sekarang sudah Maret. Sejak saat itu, sebenarnya ibu kota kita tidak lagi DKI Jakarta," kata Agus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (6/2).
Kritik inkonsistensi pemerintah dan DPR
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengkritik pemerintah dan DPR yang dinilai tidak konsisten dengan produk hukum yang mereka buat. Menurut Castro, sapaan akrabnya, status DKI tetap sebagai Ibu Kota selama UU belum diubah.
"Sepanjang UU DKI tidak diubah, maka statusnya tetap sebagai ibu kota. Kesalahan ini ada pada pemerintah dan DPR, yang tidak konsisten dengan produk UU yang mereka buat sendiri," kata dia saat dihubungi, Jumat (8/3).
Castro juga mengkritik limitasi penerbitan Keppres sebagai aturan turunan dari UU IKN. Menurut dia, UU IKN hanya memberi limitas atau batas terhadap perubahan UU DKJ, namun tidak mengatur limitasi penerbitan Keppres. Apalagi, Keppres juga sangat bergantung pada revisi UU DKJ.
Di sisi lain, Castro menganggap proses pemindahan, faktanya di lapangan juga belum siap. Kondisi itu kian memperumit proses pemindahan ibu kota setelah masalah legitimasi hukumnya.
"Apa yang mau dipindah kalau tujuan pemindahannya juga belum jelas alias tidak siap hingga saat ini. Pertanyaannya, kalau lewat dua tahun UU DKI itu belum diubah, bagaimana statusnya sebagai ibukota?" Kata dia.
Sehingga, soal Ibu Kota, bukan hanya soal kesiapan infrastruktur, masalahnya juga ada pada status hukum. Dia mengkritik karena UU IKN telah dibuat secara ugal-ugalan.
"Produk UU ini dibuat secara ugal-ugalan tanpa dipikirkan secara matang. Nafsu politik memindahkan ibukota lebih dominan dibanding nalar berhukumnya," katanya.
Pakar hukum tata negara dari UIN Malang, Wiwik Budi Wasita menilai status Jakarta yang masih sebagai Ibu Kota saat ini tak memiliki kekosongan hukum. Menurut dia, meski pembahasan perubahan UU DKI diberi waktu dua tahun sejak Februari 2022 dalam UU IKN, tetap ada bunyi klausul yang mengesahkan Jakarta masih sebagai ibu kota.
Wiwik menyebut, limitasi dua tahun untuk mengubah status UU DKI dalam Pasal 41 ayat 2, tak bisa dipisahkan dari Pasal 39.
Di sana menyebutkan, pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Nusantara menunggu Keppres.
"Namun, masa berlakunya tetap nunggu sesuai pasal 39 ayat 1 tadi itu. Jadi makanya itu tidak ada kekosongan hukum sebenarnya. Kalau pun toh kemudian pemerintah melewati waktu sesuai UU, tapi tidak serta menjadikan ada kekosongan hukum," ucap Wiwik.
Oleh karena itu, dia meyakinkan bahwa Jakarta saat ini masih tetap sebagai ibu kota negara.
Termasuk Heru Budi sebagai Pj Gubernur Jakarta tetap bisa menjalankan tugas dan kewajibannya.
Sebab walau bagaimanapun, kata Wiwik, sistem pemerintahan tetap harus berjalan.
Dan keputusan administratif tetap harus dibuat agar pelayanan publik tetap dilakukan.
"Jakarta tetap menjadi ibu kota negara sampai nanti munculnya kepres itu. Pak Heru Budi selalu PJ gubenur bisa tetap melakukan aktivitas sebagai PJ Gubernur," kata dia.
(***)