2 Alasan Utama Banyak Warga Singapura yang Memilih Childfree
RIAU24.COM - Angka kesuburan di Singapura pertama kalinya turun berada di bawah 1 pada 2023, menjadi 0,97. Padahal, idealnya diperlukan total fertility rate di 2,1 anak per wanita untuk mempertahankan populasi.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Institute of Policy Studies (IPS), dua alasan yang menjadi faktor utama warga Negeri Singa ini tidak ingin memiliki anak adalah persoalan biaya dan stres.
Hal ini terjadi meskipun pemerintah menerapkan kebijakan baru selama dekade terakhir untuk membuat pengasuhan anak lebih terjangkau. Anggaran baru memperkenalkan batasan biaya tambahan pada prasekolah yang didukung pemerintah, dan pengurangan lebih lanjut dijadwalkan pada 2026.
Tujuannya, untuk membuat biaya prasekolah sebanding dengan gabungan biaya sekolah dasar dan perawatan setelah sekolah.
Meskipun begitu, para orang tua mengeluh bahwa mereka harus berbuat lebih banyak.
"Kami masih belum memiliki cuti orang tua yang setara untuk ibu dan ayah. Dan apa yang kita miliki dirasa tidak cukup dalam konteks krusialnya 18 bulan pertama kehidupan seorang anak dan konteks karier ganda. Pendidikan dan layanan kesehatan gratis juga bukan merupakan fitur dari sistem kami," tutur salah satu warga di sana, dikutip dari Channel News Asia.
Tidak ada cara untuk mengetahui bahwa tingkat kesuburan tidak akan turun lebih tajam lagi, tanpa adanya intervensi kebijakan. Namun, kebijakan yang meringankan beban menjadi orang tua saja tidaklah cukup.
Perlu Support Lebih Luas
Dr Kalpana Vignehsa peneliti senior di Institute of Policy Studies, National University of Singapore menilai sekadar meyakinkan orang tua bahwa dukungan ekonomi tersedia tidak akan meningkatkan tingkat kesuburan dalam jangka panjang.
Namun, dukungan ini penting karena angka kesuburan mungkin akan turun lebih cepat tanpa dukungan tersebut, dan hal ini dapat memperkuat perubahan sikap yang diperlukan.
Menjadikan pendidikan dan layanan kesehatan lebih terjangkau dapat mengurangi ketidakpastian. Demikian pula, menyamakan cuti orang tua antar gender dan memberikan insentif kepada laki-laki untuk lebih terlibat menunjukkan kekhawatiran perempuan yang mendasari kesenjangan gender terkait keinginan untuk menikah dan menjadi orang tua.
"Namun dalam lingkungan saat orang tua merasakan beban terus-menerus untuk mengoptimalkan pengalaman anak mereka demi keuntungan yang tidak pasti, peran sebagai orang tua akan terus terasa seperti sebuah pengorbanan yang perlu dikuatkan secara maksimal. Kebijakan publik mempunyai peran dalam mengatasi kondisi ekonomi dan jiwa kolektif yang diperlukan untuk mendorong pengasuhan anak," pesan dia.
"Mengambil tanggung jawab membesarkan anak di dunia yang kompleks dan penuh ketidakpastian ini mungkin merupakan upaya manusia yang paling diremehkan dan sangat generatif. Tanpa hal ini, pembaharuan populasi akan memerlukan perubahan sosial yang drastis," pungkasnya. ***