Menu

2 Tahun Populasi Menyusut Drastis, China Sulit Ubah Mindset Gen Z yang Ogah Nikah

Devi 20 Jan 2024, 08:02
2 Tahun Populasi Menyusut Drastis, China Sulit Ubah Mindset Gen Z yang Ogah Nikah
2 Tahun Populasi Menyusut Drastis, China Sulit Ubah Mindset Gen Z yang Ogah Nikah

RIAU24.COM - Pasca menjadi negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, China kini dihadapi kenyataan bom waktu demografis dengan menyusutnya populasi dalam dua tahun berturut-turut. Para ahli menilai tren ini akan terus berlanjut.

Dikutip dari Channel News Asia, jumlah penduduk China menurun 2,08 juta pada 2023. Populasinya saat ini sebanyak 1,41 miliar, disalip India dengan total penduduk 1,43 miliar.

Penurunan tersebut bahkan lebih tajam dibandingkan laporan tahun sebelumnya sebesar 850.000 ribu orang, rekor terendah sejak 1961.

Para ahli demografi kemudian mengatakan hal ini tak mengejutkan, karena tingkat kesuburan di China terus menurun sejak 1990-an dan merupakan salah satu yang terendah di dunia. Menurut perkiraan, angka tersebut turun ke rekor 1,09 pada tahun 2022.

Para pengamat mengaitkan penurunan populasi terbaru di China dengan gelombang kematian akibat pandemi pada awal tahun 2023, setelah negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu secara tiba-tiba membongkar pengetatan pembatasan kebijakan nol-COVID.

Tahun lalu, angka kematian secara keseluruhan meningkat 6,6 persen menjadi 11,1 juta, tertinggi sejak 1974 selama Revolusi Kebudayaan.

Sementara itu, kelahiran baru turun 5,7 persen menjadi 9,02 juta pada 2023.

Angka kelahiran di China juga menurun selama beberapa dekade karena kombinasi urbanisasi yang pesat dan kebijakan satu anak yang kejam yang diberlakukan sejak tahun 1980 hingga 2015.

Angka kelahiran mencapai rekor terendah yaitu 6,39 per 1.000 orang pada 2023, turun dari 6,77 pada tahun sebelumnya.

Hal ini sebanding dengan negara-negara maju di Asia Timur seperti Jepang 6,3 dan Korea Selatan sebesar 4,9.

"China mengikuti jejak masyarakat di dua negara tersebut," kata Dr Zhao Litao, peneliti senior di East Asian Institute di National University of Singapore.

Penurunan populasi di negara ini juga didorong oleh faktor sosio-demografis jangka panjang, termasuk tertundanya pernikahan, meningkatnya status lajang, perubahan gaya hidup dan nilai-nilai, serta tingginya biaya perawatan anak, pendidikan, dan perumahan.

Di China, rata-rata biaya membesarkan anak hingga usia 18 tahun adalah 485.000 yuan atau setara US$67.000 pada 2019, hampir tujuh kali lipat produk domestik bruto (PDB) per kapita negara tersebut dan jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain termasuk Amerika Serikat dan Jepang.

Banyak orang China juga memilih untuk tidak menjadi orang tua karena mereka terus menghadapi ketidakpastian pekerjaan dan upah yang rendah, demikian lapor para pengamat.

Strategi China

China selama beberapa waktu telah meningkatkan upaya untuk menahan anjloknya angka kelahiran dan mendorong pasangan untuk memiliki anak.

Pada 2016, negara ini melonggarkan kebijakan satu anak yang kontroversial dengan mengizinkan dua anak untuk setiap pasangan. Pada 2021, pemerintah mengizinkan tiga orang per pasangan.

China juga telah menerapkan serangkaian inisiatif dan subsidi ramah anak, termasuk cuti hamil yang lebih panjang, pengurangan pajak, bonus bayi, tunjangan anak, lebih banyak fasilitas penitipan bayi dan anak, serta keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan yang lebih baik.

Presiden Xi Jinping mengatakan China akan membangun sistem kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran dan menerapkan strategi nasional yang proaktif dalam menanggapi penuaan populasi.

Namun, upaya tersebut akan memakan waktu dan mungkin tidak berhasil. Seperti yang diutarakan Dr Peng, salah satu pengamat di sana.

"Pemerintah merasa sangat sulit mengubah pola pikir generasi muda."

Dia menambahkan bahwa banyak negara lain, termasuk Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, telah mencoba meningkatkan angka kesuburan, tetapi keberhasilannya terbatas.

Dr Zhao menyebut kebijakan-kebijakan pro-kelahiran di Beijing diimplementasikan secara tidak merata di seluruh wilayah, penyesuaian seperti ini terlambat dan terlalu sedikit untuk mengembalikan kesuburan China ke tingkat yang setara.

Dia percaya akan lebih baik bagi China untuk fokus pada adaptasi terhadap kenyataan penurunan populasi dalam jangka pendek, daripada mengambil tindakan terburu-buru.

"Sejauh ini, masyarakat Asia Timur belum menemukan resep ajaib yang secara efektif dapat meningkatkan kesuburan, apalagi mengembalikan kesuburan ke tingkat penggantinya," tambah Dr Zhao.

"Tetapi mengingat ketahanan budaya dan masyarakat, apa yang menjadi perhatian kita saat ini mungkin tidak akan menjadi masalah di masa depan, jika nilai-nilai sosial berubah lagi untuk mendukung kesuburan yang lebih tinggi."

Para pengamat yakin penurunan populasi di China tidak terlalu drastis pada tahun ini, seiring berkurangnya dampak pandemi COVID-19 dan masyarakat mempertimbangkan untuk memiliki bayi pada Tahun Naga yang lebih menguntungkan.

Meski begitu, China mungkin berada di awal penurunan populasi jangka panjang yang akan sulit untuk diubah setidaknya dalam 50 hingga 60 tahun ke depan, demikian keyakinan para ahli.

Pakar PBB memperkirakan populasi China menyusut 109 juta pada tahun 2050.

"Kami tidak mengetahui secara pasti bagaimana (perubahan populasi) akan terjadi," kata Dr Zhao. "Ketidakpastian adalah sumber utama kekhawatiran di kalangan masyarakat dan pembuat kebijakan." ***