PBB Khawatir Lebanon Jadi Seperti Gaza
RIAU24.COM - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin (15/1/2024) khawatir dengan ketegangan yang sedang berlangsung antara Israel dan Lebanon. Dia mengatakan konflik lain seperti Gaza tidak boleh terjadi di Lebanon.
“Kita tidak bisa melihat di Lebanon seperti yang kita lihat di Gaza. Dan kita tidak bisa membiarkan apa yang terjadi di Gaza berlanjut,” ujar Guterres pada konferensi pers di markas besar PBB, dilansir Sindonews mengutip Anadolu.
Sekjen PBB mengatakan puluhan ribu orang di Israel utara dan Lebanon selatan telah mengungsi akibat pertempuran tersebut dan akses kemanusiaan di Lebanon terus terhambat.
“Berhenti bermain api di Garis Biru, kurangi eskalasi dan akhiri permusuhan sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 1701,”tegas dia.
Ketegangan meningkat di sepanjang perbatasan Lebanon dengan Israel sejak tentara Israel melancarkan serangan militer mematikan di Jalur Gaza setelah serangan Hamas pada 7 Oktober.
Baku tembak lintas batas baru-baru ini terjadi antara Hizbullah dan pasukan Israel, yang merupakan bentrokan paling mematikan sejak kedua pihak terlibat perang skala penuh pada 2006.
Sekjen PBB juga mengulangi seruannya untuk gencatan senjata di Gaza. “Serangan pasukan Israel di Gaza selama 100 hari ini telah menyebabkan kehancuran besar-besaran dan tingkat pembunuhan warga sipil pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya selama saya menjabat Sekretaris Jenderal,” ujar dia.
Menekankan bahwa sebagian besar dari mereka yang terbunuh adalah perempuan dan anak-anak, Guterres mengatakan, “Tidak ada yang bisa membenarkan hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina.”
Guterres juga menguraikan dasar-dasar tertentu untuk operasi kemanusiaan yang efektif di Gaza. Guterres mengatakan PBB dan mitra-mitranya tidak dapat memberikan bantuan secara efektif ketika Gaza berada di bawah pemboman besar-besaran dan tak henti-hentinya oleh Israel.
Dia juga mencatat operasi bantuan menghadapi “rintangan besar” di perbatasan Gaza dan hambatan besar dalam distribusi di Gaza.
“Ini termasuk penolakan berulang kali terhadap akses ke wilayah utara, tempat ratusan ribu orang masih tinggal.
Sejak awal tahun ini, hanya 7 dari 29 misi pengiriman bantuan ke wilayah utara yang dapat dilanjutkan,” papar dia.