Populasi Lajang di Korsel 'Meledak', Banyak Pria Tak Menikah gegara Ini
RIAU24.COM - Bom waktu populasi lajang di Korea Selatan disebut bakal segera meledak, imbas dari ketidakseimbangan rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jumlah pria sudah lebih banyak ketimbang perempuan muda di Korsel.
Akibatnya, sekitar 700.000 hingga 800.000 anak laki-laki 'ekstra' Korea Selatan yang lahir sejak pertengahan 1980-an mungkin tidak dapat bertemu dengan gadis Korsel untuk dinikahi.
Profesor Sociology di Texas A&M University, Dudley L Poston, menilai peningkatan jumlah anak laki-laki Korea Selatan akan berdampak besar pada masyarakat Korsel secara keseluruhan.
Hal ini bahkan tak hanya dihadapi Negeri Ginseng, tetapi juga terjadi di China, Taiwan, sampai India.
Menurut analisis Dudley, sebagian besar negara mencatat lebih banyak anak laki-laki yang dilahirkan dibandingkan anak perempuan, yakni sekitar 105 hingga 107 anak laki-laki per 100 anak perempuan.
Rasio jenis kelamin saat lahir hampir konstan. Ketidakseimbangan gender kemungkinan besar merupakan adaptasi evolusioner terhadap fakta biologis bahwa perempuan hidup lebih lama dibandingkan laki-laki. Pada setiap tahun kehidupan, laki-laki memiliki angka kematian lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Oleh karena itu, rasio jenis kelamin antara 105 dan 107 anak laki-laki memungkinkan jumlah laki-laki dan perempuan yang kira-kira sama ketika kelompok tersebut mencapai usia subur.
Rasio jenis kelamin di Amerika Serikat pada 1950 berjumlah 105 dan masih 105 pada tahun 2021, pada kenyataannya, kondisi ini sudah stabil di Amerika selama data dikumpulkan. Sebaliknya, di Korea Selatan, rasio jenis kelamin berada pada kisaran normal dari tahun 1950 hingga sekitar tahun 1980, tetapi meningkat menjadi 110 pada tahun 1985 dan menjadi 115 pada tahun 1990.
Setelah sedikit fluktuatif pada tingkat yang tinggi selama 1990-an dan awal 2000-an, angka tersebut kembali ke kisaran normal secara biologis di 2010. Pada 2022, rasio jenis kelamin Korea Selatan adalah 105, jauh di dalam tingkat normal. Namun pada saat itu, benih-benih ketidakseimbangan usia pernikahan di Korea Selatan sudah mulai terbentuk.
Ada beberapa alasan mengapa rasio jenis kelamin Korea Selatan tidak seimbang selama 30 tahun.
Korea Selatan mengalami penurunan kesuburan yang cepat dalam periode 20 hingga 30 tahun, dimulai pada 1960an. Dari enam anak per wanita di 1960, kesuburan turun menjadi empat anak pada 1972, kemudian menjadi dua anak pada 1984. Sementara di 2022, tingkat kesuburan Korea Selatan turun menjadi 0,82, tingkat kesuburan terendah di dunia dan jauh di bawah tingkat normal 2,1 yang idealnya dibutuhkan.
Namun, preferensi budaya Korea Selatan terhadap anak laki-laki tidak berubah secepat penurunan jumlah anak. Memiliki setidaknya satu anak laki-laki merupakan keinginan kuat yang mempengaruhi preferensi kesuburan di Korea Selatan, terutama hingga tahun-tahun awal abad ke-21.
Menurunnya tingkat kesuburan menimbulkan masalah. Jika perempuan mempunyai banyak anak, kemungkinan paling sedikit satu anak laki-laki akan besar. Dengan hanya dua anak, kemungkinan keduanya tidak akan mempunyai anak laki-laki adalah sekitar 25 persen, dan jika perempuan hanya mempunyai satu anak, maka kemungkinannya kurang dari 50 persen.
Untuk memastikan bahwa keluarga akan terus memiliki anak laki-laki, banyak warga Korea Selatan yang beralih ke teknik untuk mengidentifikasi jenis kelamin janin, seperti pemeriksaan pada tahap awal kehamilan. Aborsi yang legal dan dapat diterima secara sosial di Korea Selatan, sering kali digunakan untuk memungkinkan keluarga memilih jenis kelamin anak mereka.
Di Korea Selatan, dimulai sekitar tahun 1980 dan berlangsung hingga sekitar tahun 2010 atau lebih, lebih banyak anak laki-laki yang lahir dibandingkan anak perempuan. Ketika anak laki-laki tambahan ini mencapai usia dewasa dan mulai mencari gadis Korea Selatan untuk dinikahi, banyak yang tidak berhasil.
Anak laki-laki tambahan yang lahir pada 1980an dan 1990an kini telah mencapai usia ideal untuk menikah, dan banyak dari mereka yang ingin menikah dan memulai sebuah keluarga. Masih banyak lagi yang akan mencapai usia menikah dalam dua dekade mendatang.
"Saya telah menghitung bahwa karena ketidakseimbangan rasio jenis kelamin di Korea Selatan antara tahun 1980 dan 2010, terdapat sekitar 700.000 hingga 800.000 anak laki-laki tambahan yang lahir," beber Dudley, dikutip dari CNA, Jumat (11/1/2024).
"Hal ini sudah berdampak pada masyarakat dimana selama berabad-abad hampir setiap orang diharapkan untuk menikah, dan pernikahan hampir bersifat universal. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Statistics Korea menunjukkan bahwa pada 2023, hanya sekitar 36 persen warga Korea Selatan yang berusia antara 19 dan 34 tahun ingin menikah, angka ini merupakan penurunan dari 56 persen pada tahun 2012." ***