Soal Body Shaming yang Dialami Aurel Hermansyah, Seserius Ini Dampaknya
RIAU24.COM - Artis hingga deretan publik figur juga tidak lepas dari 'ejekan' body shaming. Salah satunya dialami Aurel Hermansyah. Setelah menikah dan dikaruniai dua anak, dirinya sering mendapatkan hujatan terkait perubahan tubuhnya.
"Dibilang gendutan, kaya ibu-ibu, kangen Aurel setelah menikah," beber Aurel mengungkapkan kekecewaannya terkait komentar netizen, dalam postingan Instagram pribadinya, Minggu (7/1/2024).
"Kenapa ya orang-orang itu pada jahat dan suka banget body shaming? Yang mirisnya adalah yang ngomong sesama perempuan. Memang sekarang aku gendut, karena baru saja melahirkan satu bulan yang lalu, kalau aku mau egois dari awal melahirkan aku nggak usah kasih ASI anak, langsung saja diet, tapi nggak gitu," lanjutnya.
Dikutip dari Very Well Mind, perlakuan body shaming memiliki banyak dampak negatif bagi korban.
Tanpa disadari bisa memicu beragam gejala berikut:
- Depresi
- Rasa malu atau insecure dengan bentuk tubuh
- Kecemasan
- Gangguan dismorfik tubuh
- Risiko lebih tinggi untuk melukai diri sendiri atau bunuh diri
- Kualitas hidup yang lebih buruk, karena ketidakpuasan pada tubuh sendiri
- Tekanan psikologis
Karenanya, lebih baik berhenti membicarakan bentuk tubuh orang lain, mengejek apalagi mempermalukan seseorang di depan banyak orang. Mulailah membalikkan keadaan jika diri sendiri berada di posisi tersebut.
Alih-alih melakukan body shaming, coba untuk terbiasa mencari sisi positif dalam diri seseorang. Mencoba untuk memberikan pernyataan yang membuat dirinya menyenangkan.
Mengutamakan rasa hormat, perhatian, dan kasih sayang terhadap orang lain.
Jika kamu melihat perlakuan body shaming, coba untuk menegurnya, memberitahu bahwa perlakuan membicarakan tubuh seseorang bukan selalu hal yang baik.
Dikutip dari jurnal National Library of Medicine, Angela Alberga, asisten profesor di departemen kesehatan, kinesiologi, dan fisiologi terapan di Universitas Concordia menemukan keterkaitan body shaming dengan tekanan sosial.
Dampak dari rasa malu berlebihan yang dirasakan korban memicu perubahan fisiologis dan perilaku terkait dengan kesehatan metabolisme yang buruk dan peningkatan berat badan.
"Anda sebenarnya mengalami suatu bentuk stres," jelas Alberga.
"Lonjakan kortisol, penurunan pengendalian diri, dan risiko makan berlebihan meningkat," katanya.
Semakin banyak orang yang terkena diskriminasi berat badan, semakin besar kemungkinan mereka mengalami kenaikan berat badan dan menjadi gemuk, meskipun mereka awalnya kurus.
"Rasa malu yang berlebihan juga dikaitkan dengan depresi, kecemasan, rendahnya harga diri, gangguan makan, dan menghindari olahraga," kata Alberga.
Ada bukti yang muncul bahwa tingkat keparahan dampaknya meningkat ketika orang menginternalisasikan bias berat badan. Dalam sebuah penelitian, peserta dengan tingkat internalisasi bias berat badan yang tinggi memiliki peluang tiga kali lebih besar untuk mengalami sindrom metabolik dibandingkan mereka yang memiliki tingkat internalisasi bias berat badan yang rendah, bahkan setelah mengontrol BMI dan faktor risiko lainnya.
"Ini adalah hubungan yang sangat kompleks, lebih dari sekadar energi masuk, energi keluar," sebut Alberga.***