Menu

Cerita Anak Korban Serangan Israel di Gaza, Ada yang Cedera Fisik-Trauma

Devi 21 Nov 2023, 20:08
Cerita Anak Korban Serangan Israel di Gaza, Ada yang Cedera Fisik-Trauma
Cerita Anak Korban Serangan Israel di Gaza, Ada yang Cedera Fisik-Trauma

RIAU24.COM -  Imbas pemboman Israel yang tiada henti di Gaza, anak-anak yang menjadi korban. Kondisi ini membuat anak-anak ketakutan dan mengalami trauma berkepanjangan. Untuk menangani masalah tersebut, psikolog Mohamed Abushawish menciptakan ruang untuk memberikan bantuan psikologis dini kepada anak-anak yang mencari perlindungan. Ia juga menyediakan aktivitas untuk anak-anak di lorong rumah sakit Martir Al-Aqsa di Jalur Gaza tengah dan ruang terbuka.

Meski masih ketakutan, anak-anak dengan perlahan bergabung dengan lingkaran aktif yang diorganisir oleh Abushawish. Dengan lembut, Abushawish mengundang anak-anak untuk ikut bergabung dalam kegiatan terapeutik.

Abushawish mengatakan anak-anak tersebut menderita gejala psikologis dan cedera fisik akibat trauma tersebut. Selain itu, banyak anak yang menunjukkan tanda stres pasca-trauma setelah kehilangan orang tua mereka dan terjebak dari reruntuhan selama berhari-hari.

"Gejala-gejala ini, seperti sakit perut, sakit kepala, sakit kaki, buang air kecil yang tidak disengaja, dan detak jantung yang cepat, adalah akibat langsung dari pemboman yang tiada henti di Jalur Gaza," jelas Abushawish dikutip dari Al Jazeera, Selasa (21/11/2023).

"Kegiatan terapeutik ini berfungsi sebagai bantuan psikologis awal yang penting dan intervensi cepat untuk mengurangi dampak traumatis pada anak-anak, khususnya dalam konteks konflik yang sedang berlangsung," lanjutnya.

 Cerita Anak Korban Serangan Israel

Salah satu dari anak-anak itu, Hamsa Irshi (10) mulai tersenyum cerah dan bertepuk tangan bersama dengan teman-temannya. Dia menceritakan kisah kepergian keluarganya dari rumah mereka.

"Jumat lalu, ibu dan tiga saudara saya menemani saya ke rumah paman di Deir el-Balah. Namun, pada malam yang sama, serangan udara Israel menargetkan rumah paman saya, menewaskan seluruh keluarga mereka," tutur Hamsa sambil menahan tangis.

"Kami berada di ruangan yang agak jauh dari serangan langsung. Ibu saya menderita luka ringan, dan mereka berhasil menyelamatkan kami dari bawah reruntuhan," sambungnya.

Dari orang-orang yang berada di rumah pamannya malam itu, hanya ibunya, tiga saudara laki-lakinya, dan dua sepupunya yang selamat dari pemboman tersebut. Ketiga pamannya dan keluarga mereka meninggal dunia. Sementara ayah Hamsa dan saudara-saudaranya yang lain masih berada di Kota Gaza.

Meski terkejut, Hamsa aktif mengikuti kegiatan dukungan mental dan menceritakan ketakutannya terhadap perang. Dia mengatakan dia sangat ingin hal ini segera berakhir dan merasa aman kembali.

Anak lainnya, Malak Khatab (12) yang tinggal di kamp Deir el-Balah merasa senang setelah mengikuti kegiatan yang dibuat oleh Abushawish. Menurutnya, kegiatan itu membuat anak-anak merasa bersemangat lagi.

Malak menceritakan malam yang mengerikan seminggu yang lalu, ketika dia dan keluarganya ketakutan dengan pengeboman di rumah tetangganya. Dia menggambarkan bagaimana mereka tiba-tiba terbangun karena puing-puing yang berjatuhan, diikuti oleh ledakan besar.

Malak mendapati dirinya terjebak di bawah reruntuhan, ayahnya dengan panik berusaha menjaganya tetap aman. Tim pertahanan sipil kemudian menyelamatkan mereka.

Namun, berbeda dengan yang dirasakan Anas al-Mansi (12). Ia tidak tertarik dengan aktivitas anak-anak itu dan memilih berbaring di kasur di tanah.

"Saya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan apapun," ungkap Anas.

 Anas masih trauma setelah kehilangan ayah dan bibinya akibat serangan udara yang jatuh di rumah mereka seminggu lalu. Saat itu, ia mendengar sebuah ledakan besar dan suara ayahnya yang perlahan hilang.

Ia juga menderita luka dan memar di punggungnya. Hal yang sama juga terjadi pada adiknya hingga tidak bisa berjalan, dan ibunya yang masih berada di rumah sakit.

"Suara ayah saya perlahan menghilang, dan saya mendapati diri saya terkubur di bawah puing-puing dan debu. Saya telepon ayah saya, tapi dia tidak menjawab. Saya tahu dia mungkin dibunuh," beber dia.

"Adikku juga menderita luka punggung yang parah, membuatnya tidak bisa berjalan, dan ibuku masih di rumah sakit setelah kakinya terluka," pungkasnya. ***