Dulu Dibuang Sekarang Jadi Cuan, Begini Secuil Perjalanan Minyak Jelantah di Tangan Mitra Binaan PT Pertamina Hulu Rokan
- Minyak goreng telah menjadi konsumsi utama masyarakat Indonesia
- Satu liter minyak jelantah yang dibuang ke saluran drainase, dapat mencemari setidaknya 1.000 liter perairan
- Ditangan mitra binaan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), minyak jelantah berhasil diubah menjadi ladang uang dan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang
RIAU24.COM - Waktu memang selalu membawa manusia kepada gerbang paling menakutkan. Kerentaan. Sebuah ketidakabadian umum yang menjadi rahasia Tuhan karena siklusnya selalu berputar seperti kincir air pada dam, sumber yang terinjak justru menghasilkan energy - Ratih Kumala, Penulis dari Indonesia 1980.
Tak bisa dipungkiri, minyak goreng sejak dulunya telah menjadi primadona para ibu rumah tangga di Indonesia dan kerap dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
Baik itu dirumah tangga maupun industri kuliner, pasti menggunakan minyak goreng, bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida yang berasal dari bahan nabati dengan tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses rafinasi atau pemurnian yang digunakan untuk menggoreng (Risti, 2016).
Hal itu membuat masyarakat Indonesia sudah akrab dengan penggunaan minyak goreng sawit ketimbang minyak goreng dengan bahan dasar lainnya.
Sehingga tak mengherankan jika minyak goreng menjadi satu dari sekian komoditi utama bagi masyarakat Indonesia yang digunakan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, karena hampir setiap orang menggunakan minyak goreng untuk keperluan memasak.
Sejalan dengan tingginya penggunaan minyak goreng di tanah air, Indonesia pun sukses menjadi negara sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Dilansir dari yang dihimpun oleh United States Departement of Agriculture (USDA), sebagai negara yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia mampu memproduksi CPO hingga 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023.
(Data Konsumsi Minyak Sawit di Indonesia, Foto : Mongabay Indonesia)
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), permintaan minyak goreng sawit terutama dari kalangan rumah tangga cenderung meningkat setiap tahun.
Pada tahun 2020 saja, permintaan minyak goreng naik menjadi 17,35 juta ton atau 3,6%, lebih banyak dari tahun sebelumnya yang ‘hanya’ 16,75 juta ton. Tentu saja, tingginya permintaan itu diikuti meningkatnya konsumsi masyarakat terhadap minyak goreng.
Berdasarkan publikasi Indonesia Oilseeds and Products Annual 2019 diketahui bahwa konsumsi minyak goreng rumah tangga telah mencapai 13 juta ton atau setara dengan 16,2 juta kiloliter/tahun.
Pada tahun 2020 lalu, konsumsi minyak sawit oleh masyarakat Indonesia mencapai 17,35 juta ton. Angka tersebut meningkat sebesar 3,6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pantas saja bukan, jika jumlah konsumsi yang terbilang fantasis ini membuat Indonesia nangkring di posisi pertama sebagai Negara dengan tingkat konsumsi minyak goreng terbanyak di dunia, diikuti oleh India, China, dan Malaysia.
Tak heran jika residu minyak goreng sawit yaitu minyak jelantah (used cooking oil/UCO) juga banyak ditemukan di rumah tangga masyarakat Indonesia.
Menurut kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dan Traction Energy Asia, fenomena residu ini memunculkan satu permasalahan baru yakni keberadaan limbah minyak jelantah, yang biasanya berakhir di saluran-saluran pembuangan sehingga berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan.
(Potensi Minyak Jelantah di Indonesia, Foto : Katadata.com)
Diperkirakan dari konsumsi 13 juta ton minyak goring, ada produksi minyak jelantah hingga 3 juta ton. Di mana 1,6 juta ton diantaranya didapatkan dari rumah tangga di perkotaan besar.
Sayangnya, hanya sekitar 1,95 juta ton atau sekitar 2,43 juta kilo liter dari total minyak jelantah yang digunakan untuk minyak goreng daur ulang yang nantinya dijual atau digunakan kembali untuk memasak.
Sementara sebanyak 148.380 ton atau 184.900 kilo liter diekspor dan sekitar 570.000 kilo liter digunakan untuk bahan baku biodiesel atau kebutuhan lainnya di dalam negeri.
Padahal faktanya, dari satu liter minyak jelantah yang dibuang ke saluran drainase, dapat mencemari setidaknya 1.000 liter perairan.
Tahukah Anda, ‘hanya’ dengan membuang minyak jelantah secara sembarangan diketahui memiliki dampak yang serius. Tak hanya bagi lingkungan serta kesehatan, dengan membuang minyak jelantah begitu saja, akan menyumbat saluran drainase, menyumbat pori-pori tanah, serta mencemari air.
Kisah Sukses Bank Jatah, Mitra Binaan PT Pertamina Hulu Rokan
Namun siapa sangka, jika limbah minyak jelantah ternyata memiliki potensi yang cukup menguntungkan yang mampu menghasilkan cuan dan dapat diproduksi kembali menjadi produk-produk yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.
Itulah yang membuat Mohammad Adriyo Habibi, atau yang akrab disapa Habibi berinisiatif memanfaatkan limbah minyak goreng bekas tersebut agar tidak mencemari lingkungan.
Lewat tangan besi Habibi, minyak jelantah kini menjadi ladang cuan yang sangat menjanjikan dan mampu membuka lapangan kerja bagi banyak orang.
Ide pendirian Bank Jatah ini tidak tiba-tiba muncul.
(Sukiswanto, Direktur Operasional Bank Jatah mitra binaan PT Pertamina Hulu Rokan, Foto : Devi Mewani)
Berawal saat masa pandemi COVID-19 tepatnya di akhir 2020, saat itu Habibi bersama para pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna kelurahan Umbansari Kecamatan Rumbai mencoba mencari beberapa usaha untuk mengatasi pengangguran.
Habibi yang juga Ketua Karang Taruna Umbansari tersebut, putar otak mencari usaha dengan bahan bakunya tidak cepat basi, bisa distok dan mengalami perputaran yang cepat. Akhirnya Habibi mencoba mencari inspirasi untuk memanfaatkan minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO).
“Awalnya kita pengen usaha, yang juga bermanfaat buat masyarakat. Setelah melalui diskusi panjang, tercetuslah menggunakan minyak jelantah sebagai komoditi usaha yang kami jalankan,” ungkap Sukiswanto, Direktur Operasional Bank Jatah, yang berhasil ditemui Riau24 com saat berkunjung ke Bank Jatah yang terletak di Jalan Umban Sari Atas, Perumahan Villa Padma Nomor D 17, Rumbai, Pekanbaru.
Pelan tapi pasti, Bank Jatah alias Bank Minyak Jelantah yang mulai dirintis pada 28 Agustus 2021 itu mampu menjadi ladang cuan yang terus berkembang hingga saat ini.
Bahkan Bank Jatah sendiri sudah memiliki gudang dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) untuk menampung hasil jual beli minyak jelantah.
Selain memiliki value tersendiri, bahan baku minyak jelantah, menurut Sukiswanto, juga mudah didapat dan proses pengumpulannya juga tidak sulit.
“Siapa yang tak mengenal minyak jelantah? Masyarakat Indonesia itu dikenal suka mengkonsumsi gorengan. Kami menerima jelantah bekas penggorengan apapun, yang penting tidak tercampur dengan air dan sampah ampas. Dalam sehari minimal kami mengumpulkan 20-50 kilogram,” kata Sukiswanto, pada 2 Oktober 2022 lalu.
Selain itu, Sukiswanto memiliki alasan mengapa ia dan Karang Taruna Umbansari setia berjibaku dalam menggeluti bisnis minyak jelantah.
“Bank Jatah ini bukan hanya sekedar untuk mendapatkan profit, tapi ada edukasi kepada masyarakat yang ingin kita sampaikan. Kami ingin mengedukasi masyarakat bahwa membuang minyak jelantah secara sembarang, memiliki dampak negatif yang sangat berpengaruh pada lingkungan maupun kesehatan,” tambahnya.
(Sukiswanto bersama salah seorang nasabah Bank Jatah/Foto : Devi Mewani)
Layaknya sebuah bank, namun yang ditabung bukan uang, melainkan minyak jelantah sisa penggorengan. Bank Jatah telah memiliki tiga program yang menarik yaitu :
1. Tabungan jelantah
2. Jual beli minyak jelantah
3. Sedekah jelantah
“Bank Jatah memiliki tiga program, yakni tabungan dengan melibatkan unit bisnis di tingkat kelurahan, yang kedua jual beli yang bersifat cash and carry. Biasanya ini berlaku untuk partai besar. Dan yang ketiga sedekah. Bank Jatah bekerja sama dengan masjid dan menerima sedekah jelantah. Jika terkumpul, maka jelantah itu bisa diuangkan dan dananya masuk ke kas masjid,” tambah Sukiswanto.
Sukiswanto juga menjelaskan kendati porsi tabungan bukan yang terbesar, tapi tabungan jelantah ini yang menjadi andalan program Bank Jatah.
"Biasanya untuk yang menabung berasal dari kalangan rumah tangga. Karena kan jika di rumah tangga, biasanya paling banyak sekilo atau dua kilo dalam sebulan. Dan itu pun mengumpulkannya pasti setiap hari. Nah, bagi masyarakat ingin mendapatkan nilai yang lebih, maka mereka harus menabung di Bank Jatah.”
Sukis, panggilan Sukiswanto juga menjelaskan, jika dengan pihak hotel, biasanya meraka melakukan jual beli secara langsung. “Kalau di hotel kan banyak sisa minyaknya," ujar Sukis.
Tak hanya itu, Sukis mengungkapkan dalam menjalankan usahanya, mereka juga bekerjasama dengan koperasi syariah Koptismu untuk mengelola tabungan masyarakat termasuk memberikan simpan pinjam bagi nasabah yang rajin menabung.
Selain itu, dalam operasionalnya, ada beberapa kemudahan yang diberikan Bank Jatah kepada masyarakat, diantaranya masyarakat tak perlu susah payah untuk mendatangi tempat penampungan minyak jelantah, karena Bank Jatah menyediakan layanan antar jemput yang tidak dikenakan tarif.
“Kita menyediakan layanan antar jemput bagi masyarakat. Untuk minyak jelantah yang diantar akan dihargai Rp 8 ribu/kilogram (Kg), tetapi bila Bank Jatah yang melakukan penjemputan akan dihargai Rp 7.500 per kilogram. Namun untuk minyak bekas yang masih layak, kita jual langsung dengan harga Rp 4 ribu per kilogram,” kata Sukiswanto lagi.
Setelah 3 tahun usaha ini berjalan, Sukiswanto menyebut sampai saat ini masyarakat yang mengikuti Program Tabungan Bank Jatah telah mencapai ratusan orang dengan sekitar 15 unit bisnis yang terbentuk di setiap kelurahan.
Tak cuma sampai disitu, Bank Jatah juga memiliki impian untuk memiliki pengelolaan berbasis aplikasi, sistem yang dirancang sesuai dengan perkembangan teknologi.
“Kami bermimpi memiliki aplikasi seperti mobile banking. Dengan aplikasi ini, nantinya para nasabah tak cuma dapat melihat langsung berapa jumlah uang tabungan minyak di rekening, tapi juga bisa melakukan transaksi via digital. Jadi Bank Jatah sifatnya akan lebih transparan kepada masyarakat, terutama bagi para nasabah,” ujar Sukiswanto.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Sukiswanto, Rohima yang juga merupakan Ketua Unit Bisnis Agrowisata Bank Jatah, mengatakan bahwa respon masyarakat atas hadirnya Bank Jatah di Kelurahan Agrowisata disambut dengan sangat baik.
Sejak menjadi Mitra Bank Jatah pada September 2022, tiap minggu ia bisa mengumpulkan 5 hingga 10 Kg minyak jelantah dan nantinya, minyak yang telah dikumpulkan oleh Rohima itu akan dijemput Bank Jatah pusat.
Rohima menceritakan awal mula ia tertarik menjadi mitra Bank Jatah kepada media.
(Gudang tempat penyimpanan minyak jelantah milik Bank Jatah mitra binaan PT PHR/Foto : Devi Mewani)
“Waktu itu, ada tim dari Pertamina Hulu Rokan (PHR) bersama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Lancang Kuning (Unilak) yang melakukan sosialisasi tentang kemitraan Bank Jatah. Kami para masyarakat diajak untuk menjadikan minyak jelantah sebagai usaha sampingan yang menjanjikan. Karena saya rasa itu menarik, makanya saya mau bergabung,” tutur Rohima menceritakan awal mula ia bergabung menjadi Mitra Bank Jatah.
Setelah beberapa hari acara pemaparan berlalu, Rohima dan teman-temannya berhasil mengumpulkan puluhan kilogram minyak jelantah dan langsung menjalin komunikasi intens dengan Bank Jatah.
Kala itu, Rohima bersama beberapa rekannya yang telah resmi menjadi mitra Bank Jatah, secara aktif terus memberi edukasi kepada masyarakat sekitar tentang peluang bisnis minyak jelantah dan efek minyak jelantah bagi lingkungan.
Usaha Rohima pun berbuah manis
Berkat kegesitannya. dalam seminggu saja, ia berhasil mendorong para nasabahnya untuk bisa menyetor minimal setengah kilogram minyak jelantah per bulan.
“Awalnya memang susah, tapi akhirnya bisa,” tutur Rohima.
Tak hanya mendorong para nasabah untuk menyetor minyak. Rohima tak lupa untuk memotivasi agar warga sekitar agar mengumpulkan minyak jelantah tak hanya dari dapur sendiri.
“Saya juga mendorong para nasabah untuk bergerilya mengumpulkan minyak jelantah dari mana saja. Bisa dari rumah tetangga, dari rumah sanak keluarga, dari para penjual gorengan pinggir jalan, atau tempat-tempat usaha kuliner lain yang ada dilingkungan para nasabah, untuk selanjutnya disetor ke Unit Bisnis Bank Jatah,” lanjut Rohima.
Rohima juga mengungkapkan harus ada kesadaran di masyarakat bahwa membuang minyak jelantah sembarangan bisa merusak lingkungan, dan jika digunakan untuk makanan juga berbahaya bagi kesehatan.
“Masyarakat harus sadar bahwa minyak jelantah yang digunakan secara berulang-ulang dalam proses penggorengan bersuhu tinggi, bisa menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan manusia,” kata Rohima.
Menurut Rohima lagi, semakin banyak warga yang bergabung menjadi Unit Bisnis, justru lebih bagus, karena tentunya akan banyak warga yang bisa teredukasi.
"Saya pun kalau ke mana-mana selalu sosialisasikan soal ini, karena bisnis ini baik untuk lingkungan dan untuk kesehatan dan pastinya menguntungkan karena bisa dijadikan uang," katanya seraya berharap agar daerah lain juga bisa menjadi mitra Bank Jatah.
Minyak Jelantah Dikumpulkan, Ditabung, Jadi Cuan!
Sukiswanto menuturkan, sejauh ini, Bank Jatah mampu mengumpulkan 5 ton minyak jelantah per bulan.
Nantinya, minyak jelantah yang terkumpul di Bank Jatah, dijual ke eksportir yang akan mengirimnya ke China sebagai bahan baku pembuatan biodiesel di luar negeri.
“Semua minyak jelantah ini dibawa ke Medan, kemudian ke Malaysia dan berakhir ke Cina. Di Cina lah, minyak jelantah diolah menjadi biodiesel karena ada pabrik besar di sana,” tutur Sukis.
Pria berkulit coklat ini juga menjelaskan jika jelantah memang menjadi bahan baku untuk biodiesel dan sangat besar pasarnya di Eropa serta Cina.
(Deretan jerigen yang berisikan minyak jelantah milik Bank Jatah mitra binaan PT PHR/Foto: Devi Mewani)
Untuk pasar Cina dan Eropa, harga biodiesel dengan bahan baku dari minyak jelantah sudah dihargai dengan nilai yang tinggi.
"Pasar minyak jelantah ini luar biasa. Bahkan hingga saat ini kita masih kekurangan suplai karena diminta untuk menyediakan 100 ton/bulan yang sampai sekarang belum bisa kami penuhi. Kalau untuk sekarang kami baru bisa mengirimkan tiga hingga lima ton per bulan dengan omzet mencapai hingga Rp 50 juta per bulan" katanya lagi.
Sukiswanto juga menjelaskan mengapa biodisel itu tidak diolah di Indonesia.
"Harga biodiesel B-30 saat ini fluktuatif, nilainya antara Rp10 ribu hingga Rp11 ribu per liter. Padahal untuk harga jual bahan baku jelantah dari Bank Jatah ke pengepul besar di Medan saja sudah mencapai Rp12 ribu per kg. Harganya juga tidak tetap, fluktuatif, kadang bisa naik, kadang bisa turun, tergantung pasar internasional. Setelah dihitung-hitung, perhitungannya tidak masuk. Jadi kami memilih untuk mengekspor saja," tuturnya.
Baik Habibi, yang menjadi Direktur Utama Bank Jatah, dan Sukiswanto berharap usaha ini akan terus berkembang, dan terus bisa mengedukasi masyarakat.n“Kami juga berharap kedepannya Bank Jatah terus berkembang dan mampu memiliki pabrik untuk memproduksi biodiesel sendiri,” kata Sukiswanto.
Sebagai informasi, hingga saat ini, energi utama yang digunakan di sejumlah negara masih berasal dari minyak bumi. Namun eksploitasi secara terus menerus tanpa henti, tentu saja membuat cadangan minyak yang berasal dari berbagai bentuk organisme yang mati di dalam tanah semakin menipis. Imbasnya, harga minyak bumi pun akan terus meroket.
Ada banyak produk olahan minyak bumi, di antaranya bensin, solar maupun avtur. Bahan bakar ini digunakan untuk menggerakkan berbagai mesin pendukung kegiatan manusia, mulai dari mesin pemotong rumput, pembajak sawah, sepeda motor, mobil hingga pesawat terbang.
Namun, solar menjadi bahan bakar yang banyak digunakan di masyarakat sebagai sumber energi, baik untuk pertanian, transportasi, penggerak generator listrik hingga peralatan berat. Mengingat produksi solar serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis, bak berpacu dengan waktu, berbagai upaya terus dilakukan untuk mencari solusi energi alternatif pengganti bahan bakar diesel tersebut.
Dilansir dari BP Statistical Review of World Energy, total konsumsi solar dari minyak bumi secara global telah mengalami peningkatan dalam satu dekade yaitu 3,5 juta ton di tahun 2010 dan 3,9 juta ton di tahun 2019.
Dari sejumlah riset, bahan bakar alternatif yang cukup menjanjikan saat ini sebagai pengganti minyak bumi adalah minyak sawit, hasil olahannya yang disebut dengan biodiesel.
Namun penggunaan langsung minyak sawit dapat menyebabkan kerusakan mesin diesel, dengan hasil pembakaran minyak sawit dapat membentuk deposit pada pipa injektor mesin diesel dan asap berlebih.
Minyak sawit memiliki sifat mudah teroksidasi dan menjadi rusak karena banyak mengandung asam lemak.
(lustrasi biodiesel/Foto: esdm.go.id)
Ditambah lagi minyak sawit juga memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pada petrodiesel.
Bukan hanya itu, penggunaan minyak sawit secara langsung juga kurang menguntungkan dari segi ekonomi dan bisa mengganggu ketahanan pangan karena harus bersaing dengan minyak goreng yang banyak di pasaran.
Namun dengan kemajuan teknologi pengolahan, menunjukkan jika biodiesel yang diproduksi dari minyak jelantah, ternyata memiliki kualitas yang hampir sama baiknya dengan biodiesel standar.
Biodiesel yang berasal dari tanaman dan lemak hewan telah dikaji banyak peneliti di dunia, bahan bakar alternatif ini sangat potensial digunakan sebagai pengganti solar karena kemiripan karakteristiknya.
Biodiesel juga tidak menghasilan cemaran yang berbahaya bagi lingkungan serta mudah terurai secara alami.
Biodiesel di Indonesia dibuat dari bahan baku dari minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dengan sebutan B-30 atau campuran 30 persen minyak nabati dari CPO. Sementara yang diproduksi dari jelantah berbeda.
“Untuk biodiesel dari minyak jelantah, nanti jadinya B-100 atau murni dari jelantah tanpa campuran lagi,” jelas Sukiswanto.
Oleh karena itu, konversi minyak jelantah menjadi biodiesel sangat diperlukan karena tidak perlu mengganggu ketahanan pangan.
Tak hanya itu, keuntungan lain dengan menggunakan biodiesel dari minyak jelantah karena selain mudah diproses, harganya pun relatif stabil.
Bisa dipastikan di masa depan kelak biodiesel akan mampu menjadi sumber energi baru terbarukan dan menjadi bahan bakar pengganti minyak bumi untuk mesin diesel.
Sukiswanto berharap jika Bank Jatah mampu memproduksi biodiesel sendiri di beberapa wilayah serta memiliki banyak gudang jelantah.
Bakti PHR dan Mitra Binaan Dalam Menjaga Lingkungan
Sukiswanto mengatakan, berkat dukungan PHR yang bekerja sama dengan Universitas Lancang Kuning (Unilak) Bank Jatah mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas edukasi bagi masyarakat sehingga nasabah Bank Jatah terus tumbuh dan berkembang.
Berkolaborasi dengan PT. Pertamina Hulu Rokan (PHR) membuat hadirnya Bank Jatah tak cuma berbicara tentang bisnis semata, namun misi utamanya adalah menyadarkan masyarakat terhadap bahaya minyak jelantah bagi kesehatan dan lingkungan.
Sebagai salah satu upaya PHR untuk mendongkrak perekonomian masyarakat yang berbasis pada kepedulian terhadap lingkungan, Bank Jatah selaku Mitra Binaan terus bergerak melakukan sosialisasi dan edukasi pengelolaan minyak jelantah bagi masyarakat Pekanbaru dan sekitarnya.
Sukiswanto mengaku selama tiga tahun fokus berbisnis di seputar minyak jelantah menjadi salah satu caranya dalam memperbaiki perekonomian dan penyelamatan lingkungan.
“Bank Jatah sebagai tempat terakhir menyalurkan minyak jelantahnya, tentu akan baik untuk perekonomian dan pastinya juga berdampak baik untuk kesehatan serta lingkungan. Kami berharap melalui program ini dapat mendorong kesadaran bersama dalam menjaga lingkungan sekitar," terang Sukiswanto.
Dalam program corporate social responsibility PHR, Bank Jatah telah mendapat pembangunan gudang, bantuan untuk sosialisasi, pengembangan sumber daya manusia, pelatihan digital marketing hingga manajemen.
Corporate Secretary PHR WK Rokan, Rudi Ariffianto mengatakan adalah komitmen Pertamina dalam melestarikan lingkungan dan menjaga keanekaragaman hayati.
“Menjaga lingkungan merupakan salah satu fokus utama program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PHR,” kata Rudi.
Rudi mengungkapkan, program bank minyak jelantah ini juga merupakan salah satu upaya PHR untuk mendongkrak perekonomian masyarakat sekitar daerah operasi yang berbasis peduli lingkungan.
PT PHR juga turut berkontribusi terhadap kegiatan operasional Bank Jatah. Karena dengan kerjasama yang terjalin antara PHR dan Bank Jatah, membuat Bank Jatah lebih dikenal oleh masyarakat luas, sehingga terus berkembang hingga saat ini.
“Kami berharap dengan program Bank Jatah yang merupakan Mitra Binaan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) dapat mendorong kesadaran bersama dalam menjaga lingkungan sekitar,” harap Rudi.
Senada dengan Rudi, Manager Eksternal Communications & Stakeholders Relations South PHR Wan Dedi Yudishtira juga mengatakan salah satu fokus utama program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PHR, adalah berkomitmen untuk melestarikan lingkungan serta keanekaragaman hayati.
“Melalui program Bank Jatah ini diharapkan dapat mendorong kesadaran bersama dalam menjaga lingkungan sekitar. Sehingga minyak jelantah yang dulunya dibuang masyakat, tapi bisa menjadi cuan di tangan mitra binaan PT PHR,” pungkasnya.***
PENULIS : DEVI MEWANI
LINK BERITA : https://www.riau24.com/berita/baca/1698507295-dulu-dibuang-sekarang-jadi-cuan-begini-secuil-perjalanan-minyak-jelantah-di-tangan-mitra-binaan-pt-pertamina-hulu-rokan