China Mengusulkan Larangan Pakaian yang Menyakiti Perasaan Bangsa, Apa Itu?
RIAU24.COM - Sebuah rancangan undang-undang aturan berpakaian yang baru-baru ini diusulkan di China telah memicu perdebatan sengit di dalam negeri. Undang-undang itu, jika diberlakukan, akan melarang pidato dan pakaian yang dianggap merugikan semangat orang-orang China.
Langkah ini telah menimbulkan kekhawatiran tentang dampak potensial dan kurangnya kejelasan mengenai apa yang merupakan pelanggaran, lapor BBC.
Undang-undang yang diusulkan tidak secara eksplisit mendefinisikan tindakan atau ekspresi apa yang akan dianggap melanggar larangan.
Ambiguitas ini telah menyebabkan paduan suara, termasuk pengguna media sosial dan pakar hukum, menyerukan kejelasan yang lebih besar untuk mencegah potensi penjangkauan yang berlebihan dan penegakan hukum yang berlebihan.
Rancangan undang-undang ini adalah bagian dari serangkaian perubahan yang diusulkan lebih luas terhadap undang-undang keamanan publik Tiongkok, menandai reformasi signifikan pertama dalam beberapa dekade.
Hukuman untuk pelanggaran
Klausul kontroversial dari rancangan undang-undang menunjukkan bahwa individu yang ditemukan mengenakan pakaian atau simbol yang merusak semangat atau menyakiti perasaan bangsa China dapat menghadapi penahanan hingga 15 hari dan denda hingga 5.000 yuan ($ 680).
Demikian pula, mereka yang membuat atau menyebarkan artikel atau pidato yang termasuk dalam kategori ini dapat menghadapi hukuman yang sama.
Pertanyaan seputar penegakan dan subjektivitas
Diskusi online penuh dengan pertanyaan tentang bagaimana otoritas penegak hukum akan menentukan kapan perasaan bangsa terluka.
Ambiguitas ini telah menyebabkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan. Misalnya, seorang pengguna di platform media sosial China Weibo mempertanyakan apakah mengenakan jas dan dasi, yang berasal dari Barat, dapat ditafsirkan sebagai menyakiti perasaan nasional.
Kritik pakar hukum
Pakar hukum di China juga telah menyatakan keberatan tentang bahasa yang tidak jelas dari rancangan undang-undang tersebut.
Mereka berpendapat bahwa ambiguitas semacam itu dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak pribadi dan kebebasan.
Zhao Hong, seorang profesor hukum di Universitas Ilmu Politik dan Hukum China, menyoroti risiko penegak hukum memaksakan penilaian moral mereka sendiri di luar ruang lingkup hukum.
Dia merujuk kasus dari tahun lalu di mana seorang wanita dengan kimono ditahan di Suzhou, memicu kemarahan di media sosial.
Rancangan undang-undang tersebut mencontohkan tren yang lebih luas di China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping.
Sejak berkuasa pada tahun 2012, Xi telah berusaha untuk mendefinisikan kembali apa yang merupakan model warga negara China.
Ini termasuk mengeluarkan pedoman moralitas pada tahun 2019, yang mendorong perilaku seperti kesopanan dan perjalanan ramah lingkungan sambil menekankan kesetiaan kepada Xi dan Partai Komunis.
Rancangan undang-undang tersebut mencerminkan dorongan berkelanjutan untuk mengatur ekspresi dan perilaku budaya.
(***)