Ilmuwan Sebut Semakin Jelas Tanda-tanda Kiamat di Langit dan di Bumi, berikut Faktanya
RIAU24.COM - Tanda-tanda 'kiamat' merujuk ke perubahan iklim semakin jelas terlihat. Bahkan, tanda-tanda ini juga terlihat tak hanya di permukaan bumi, namun juga di langit.
Terbaru dalam laporannya, CNBC International menyebut sumber daya air di Eropa kini semakin langka karena keadaan darurat iklim yang semakin parah. Suhu yang memecahkan rekor selama musim semi dan gelombang panas telah memicu kekeringan.
Waduk di negara-negara Mediterania seperti Italia telah jatuh dalam kekeringan. Ini akhirnya telah mengancam produksi pertanian, sementara protes karena kekurangan air telah terjadi di Prancis dan Spanyol.
Data satelit yang dianalisis oleh para peneliti dari Universitas Graz Austria pada awal tahun juga menemukan bahwa kekeringan berdampak pada Eropa dalam skala yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan para peneliti sebelumnya.
Studi ini diterbitkan setelah para peneliti Uni Eropa (UE) menemukan bahwa Benua Biru mengalami musim panas terpanas tahun lalu, dengan kekeringan hebat yang dianggap sebagai yang terburuk yang pernah dialami wilayah itu setidaknya dalam 500 tahun.
Para peneliti di University of Graz mengatakan Eropa telah menderita kekeringan parah sejak 2018, dengan efeknya menjadi jelas tahun lalu karena surutnya air mendatangkan malapetaka bagi produksi makanan dan energi. Selain itu, banyak spesies air kehilangan habitatnya.
"Beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah membayangkan bahwa air akan menjadi masalah di Eropa, terutama di Jerman atau Austria," kata Torsten Mayer-Gürr, penulis utama studi satelit tersebut dalam laporan Senin, dikutip Selasa (6/6/2023).
"Kami benar-benar mendapat masalah dengan pasokan air di sini. Kami harus memikirkannya," tegasnya.
Sementara itu, hal serupa juga terjadi di langit. Tingkat karbon dioksida (CO2) yang diukur di atas gunung berapi Hawaii memperpanjang kenaikannya mencapai 50% lebih tinggi daripada permulaan era industri.
Mengutip Reuters, kadar CO2 di Mauna Loa Atmospheric Baseline Observatory Hawaii mencapai 424 bagian per juta (ppm) pada bulan Mei. Ini naik 3 ppm dari tahun sebelumnya dan melanjutkan kenaikan ke kisaran dari era jutaan tahun yang lalu.
Administrator di Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat (AS), Rick Spinrad, mengatakan peningkatan ini merupakan bagian dari akibat langsung dari aktivitas manusia. Ia mengatakan pos Mauna Loa telah mengukur CO2 di atmosfer sejak 1958, ketika levelnya kurang dari 320 ppm.
Tren naik dikenal sebagai Kurva Keeling untuk bagaimana pendakian digambarkan dalam grafik dan dinamai menurut David Keeling, yang memulai pengukuran untuk lembaga studi Scripps pada tahun 1958. NOAA mulai berkolaborasi dengan Scripps pada pengukuran pada tahun 1974.
Program Scripps sekarang dijalankan oleh putra Keeling, ahli geokimia Ralph Keeling. Ia mengatakan situasi saat ini sebagai kondisi yang sangat tidak baik.
"Ini menunjukkan bahwa sebanyak yang telah kami lakukan untuk memitigasi dan mengurangi emisi, jalan kami masih panjang," pungkasnya.
Merujuk pada website PBB, perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari.
Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas. Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang bekerja seperti selimut yang melilit Bumi, menghasilkan panas matahari dan menaikkan suhu.
Bumi sekarang 1,1°C lebih hangat daripada di akhir tahun 1800-an. Dekade terakhir (2011-2020) adalah rekor terpanas.
(***)