Studi Menyebutkan Persentase Kematian Akibat Leptospirosis Lebih Tinggi dari Covid-19
RIAU24.COM - Direktur Pascasarjana Univeritas YASRI, Prof Tjandra Yoga Aditama mengemukakan angka persentase kematian akibat leptospirosis di Indonesia secara umum lebih tinggi dari Covid-19.
Di Indonesia untuk kasus leptospirosis cenderung meningkat setiap tahunnya.
"Pada 2020 sebanyaj 1.170 kasus dengan 106 kematian setara dengan angka persentase kematian (case fatality rate/CFR) 9,06 persen; jauh lebih tinggi dari angka kematian akibat Covid-19," kata Tjandra Yoga Ditama yang dikonfirmasi, Jumat (10/3).
Pada 2021, kasus kematian sebanyak 84 jiwa dari total 736 kasus leptospirosis (CFR 11,41 persen), dan pada 2022 berdasarkan laporan dari 11 provinsi terdapat 1.408 kasus leptospirosis dengan angka kematian 139 jiwa (CFR 9,87 persen).
"Persentase CFR Covid-19 pada umumnya berkisar 2,4 hingga 3,4 persen berdasarkan data Public Health Emergency Operating Centre (PHEOC) Kemenkes RI," kata dia.
Tjandra yang juga mantan dirjen Pengendalian Penyakit dan Kepala Balitbangkes Kemenkes RI mengatakan, pada kurun Januari hingga Maret 2023, beberapa daerah sudah melaporkan adanya peningkatan kasus leptospirosis di sejumlah daerah di Indonesia.
Kasus itu dilaporkan dari Kabupaten Pacitan di Provinsi Jawa Timur sebanyak 114 kasus dengan enam orang meninggal, Jawa Tengah sebanyak 111 kasus dengan 18 orang meninggal, Kabupaten Bantul di Provinsi DI Yogyakarta 41 kasus dengan tujuh orang meninggal, Jawa Barat sembilan kasus dengan dua meninggal, Kabupaten Pangkep di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak empat kasus dengan satu orang meninggal, dan Banten dua kasus dengan kasus 0 meninggal.
Menurut Tjandra, penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri yang disebut leptospira, yang kali pertama dilaporkan pada 1886 oleh Adolf Weil sehingga disebut juga sebagai penyakit atau sindrom Weil.
"Penyakit ini termasuk salah satu penyakit zoonosis, karena ditularkan melalui hewan atau binatang. Di negara kita hewan penular terutama adalah tikus melalui kotoran dan air kencingnya," kata dia.
Tjandra mengimbau masyarakat mewaspadai sejumlah lokasi penularan, terutama kawasan banjir, sebab pada musim hujan banyak tikus yang keluar dari liang tanah untuk menyelamatkan diri.
"Tikus tersebut akan berkeliaran di sekitar manusia, di mana kotoran dan air kencingnya akan bercampur dengan air banjir tersebut," ujarnya.
Tjandra mengatakan, seseorang yang mempunyai luka, kemudian terendam air banjir yang sudah tercampur dengan kotoran maupun kencing tikus yang mengandung bakteri leptospira, maka berpotensi terinfeksi dan bisa jatuh sakit, kata Tjandra menambahkan
(***)