Kisah Wanita Tersubur di Dunia, Punya 44 Anak di Usia 40 Tahun
RIAU24.COM - Media sosial sempat ramai oleh kisah seorang wanita asal Uganda yang disebut-sebut sebagai wanita tersubur di dunia.
Bukan tanpa alasan, di usianya yang menginjak 40 tahun, wanita bernama Mariam Nabatanzi disebut telah melahirkan 44 anak. Rupanya, ia didiagnosis memiliki kelainan genetik yang dikenal dengan istilah hiperovulasi.
Beberapa waktu lalu informasi tersebut disebarkan di media sosial TikTok. Tak sedikit warganet yang terkejut.
Mengutip Reuters, Nabatanzi telah menikah sejak usia 12 tahun. Ia telah melahirkan 4 pasang anak kembar, 5 pasang kembar tiga, dan 5 pasang kembar empat. Namun nahas, enam dari anaknya telah meninggal dunia.
Suaminya pun dikabarkan sudah pergi melarikan diri dengan semua uang keluarga, meninggalkan Mariam dengan 22 anak laki-laki dan 18 anak perempuan, untuk dibesarkan seorang diri.
"Saya tumbuh dengan air mata, suami saya telah memberikan saya banyak penderitaan," katanya saat wawancara di rumahnya.
"Seluruh waktu saya dihabiskan untuk merawat anak-anak saya bekerja untuk mendapatkan uang."
Putus asa akan uang, Nabatanzi telah mencoba segala macam profesi. Tata rambut, dekorasi acara, mengumpulkan dan menjual besi tua, membuat gin lokal, hingga menjual jamu. Semua pendapatannya habis untuk makanan, perawatan medis, pakaian dan biaya sekolah untuk anak-anaknya.
"Ibu kewalahan, pekerjaannya menghancurkannya, kami membantu di mana kami bisa, seperti memasak dan mencuci, tetapi dia masih memikul seluruh beban untuk keluarga. Saya kasihan padanya," kata anak sulungnya Ivan Kibuka (23), yang harus putus sekolah.
Menurut data World Bank, tingkat kesuburan di Uganda memang terbilang tinggi. Setiap ibu rata-rata bisa melahirkan 5-6 anak. Data ini bahkan lebih dari dua kali lipat rata-rata tingkat kesuburan di dunia, yakni 2-4 anak. Hanya saja, Nabatanzi menyadari bahwa dirinya tidak seperti wanita lain di negara asalnya tersebut.
Ketika terus melahirkan anak kembar, Nabatanzi memeriksakan diri ke klinik kesehatan. Dokter kemudian memberi tahu bahwa Nabatanzi memiliki ovarium yang besar dan tidak normal. Kondisi ini membuat dirinya mengalami hiperovulasi.
Alat kontrasepsi bahkan disebut tak akan bisa mengatasi hiperovulasi. Bahkan, bukan tak mungkin kondisi ini bisa memicu masalah kesehatan lain yang lebih parah.
Hiperovulasi memang bisa diobati, tetapi pengobatan dan perawatan masih sulit didapat di wilayah pedesaan Uganda.
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi di Uganda, Charles Kiggundu mengatakan bahwa penyebab paling mungkin dari kondisi hiperovulasi yang dialami Nabatanzi adalah faktor genetik.
"Kasusnya adalah predisposisi genetik untuk hiperovulasi, melepaskan banyak sel telur dalam satu siklus, yang secara signifikan meningkatkan kemungkinan memiliki banyak kelahiran," kata Kiggundu.
Menurut Mayo Clinic, sindrom hiperstimulasi ovarium sebenarnya jarang terjadi. Namun, kondisi ini bisa memicu komplikasi yang berakibat fatal.
Misalnya, hiperovulasi bisa memicu penumpukan cairan di perut atau dada, pembekuan darah, gagal ginjal, ovarium terpuntir, dan masalah pernapasan. Kini, Nabatanzi hanya bisa berharap agar anak-anaknya bahagia.
(***)