Kisah Tiga Bapak Bangsa Indonesia Pernah Diasingkan di Sumatera Utara
RIAU24.COM - Dalam Autobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Sindi Adam, Soekarno menceritakan tak lama setelah menggelar aksi polisionil kedua dengan menduduki ibukota Yogyakarta, Belanda menangkap dan mengasingkan sejumlah pemimpin Republik Indonesia termasuk dirinya.
Dikutip YouTube CNN Indonesia pada (17/8/22), kejadian itu terjadi pada pukul 07.00 pagi tanggal 22 Desember 1948. Perjalanan terkesan mendadak dan penuh rahasia.
Soekarno diberikan kesempatan lima menit untuk berkemas dan mengucapkan selamat tinggal pada keluarga. Soekarno bersama Syahrir dan Agus Salim diberangkatkan dengan menggunakan pesawat b-25 Michelle.
Meski pesawat sudah mengudara tak satu orangpun termasuk pilot di pesawat itu tahu tujuan. Akhirnya Soekarno pun tahu dirinya, Sutan Syahrir dan Agus Salim diturunkan dan ditawan di Berastagi Sumatera Utara. Setelah sebelumnya Muhammad Hatta, Assaat dan Pringgodigdo diturunkan di pulau Bangka.
Sebuah tugu perjuangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terlihat di tengah kota Berastagi Kabupaten Karo Sumatera Utara, sebagai penanda peristiwa tersebut pernah terjadi.
Perjalanan sekitar dua kilometer dari tuga tersebut dapat terlihat sebuah rumah atau Pesanggrahan Bung Karno yang kini dirawat dan jadi aset pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Di salah satu lereng perbukitan yang sunyi rumah yang dibangun pada tahun 1790 dan dulunya tempat tinggal seorang Perwira Belanda masih berdiri dan menjadi saksi bisu pembuangan tiga Bapak Bangsa.
Keaslian bangunan itu masih terjaga meski pemugaran pernah dilakukan pada tahun 1957 dan 2005. Kamar tidur Soekarno, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim pun masih seperti aslinya.
Soekarno, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah dengan penjagaan ketat oleh tentara Belanda bersenjata senapan.
Karena alasan keamanan Soekarno, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim yang diasingkan di Berastagi Kabupaten Karo dipindahkan Belanda. Belanda takut Laskar rakyat di Tanah Karo yang jadi basis perjuangan kemerdekaan merebut kembali para Bapak Bangsa.
Dari pengasingannya di kota Berastagi Kabupaten Karo, Bung Karno Sutan Syahrir dan Agus Salim diasingkan ke pinggiran Danau Toba. Mereka diasingkan selama dua bulan.
4 Januari 1949 Soekarno, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim tiba di rumah pengasingannya di Kota Parapat Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Rumah Pesanggrahan Bung Karno di Parapat ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1821.
Soekarno tidur di kamar pertama dan Sutan Syahrir tidur di kamar sebelahnya sedangkan kamar Haji Agus Salim berada di seberang kamar mereka. Setelah satu bulan berada di Parapat sang proklamator bisa berkomunikasi dengan gerilyawan Indonesia melalui surat.
Soekarno punya cara spesial untuk mengirimkan surat pada para pejuang Kemerdekaan dengan menyembunyikannya di dalam tulang paha ayam dan di dalam batang sayur kangkung.
“Udah selesai beliau makan disitulah tulang paha ayam tersebut dibersihkan, setelah bersih dan kering barulah surat dimasukkan kedalam tulang paha ayam itu. Setelah dimasukkan ke rantang makanan beliau berpesan sama kakek Udin bahwa di rantang tempat makanan kami itu ada sisa makanan tulang paha ayam di dalam tulang paha yang itu ada isinya surat. Tolonglah kamu berikan kepada gerilayawan atau keluargamu yang bisa kamu percayai untuk kami bisa berkomunikasi dengan rakyat yang ada di sini. Informasi tersebut sampai ke TNI,” jelas Zamsami selaku Juru Rawat Pesanggrahan Soekarno di Prapat.
Setelah tahu keberadaan Soekarno pasukan TNI dan rakyat bersiap membebaskan ketiga tokoh bangsa dari tangan Belanda. Pengepungan dari darat dan perairan Danau Toba sudah dilakukan.
Namun, Sutan Syahrir meminta hal itu tidak dilakukan karena persatuan bangsa-bangsa sudah mengetahui pemimpin negara Republik Indonesia berada dalam tawanan Belanda. Sehingga mereka akan dipindahkan ke pulau Bangka untuk disatukan dengan Muhammad Hatta.
Para pemimpin yang diasingkan akhirnya dikembalikan ke Yogyakarta pada 6 juli 1949 setelah perundingan roem-royen.
Satu babak dalam sejarah perjalanan Bung Karno ini pun ikut mengharumkan nama Berastagi dan Parapat. Masyarakat karo menjuluki Bung Karno Bapak rakyat sirulo atau bapak lambang kemakmuran rakyat.
(***)