Hajar Aswad, Batu Syurga yang Jadi Rebutan Manusia
RIAU24.COM - Abbas Radhiyallahu Anhu (RA), ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam(SAW) bersabda, “ Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih lebih putih daripada susu. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam”.
Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menerangkan keberadaan Hajar Aswad merupakan batu yang ditutunkan dari surga. Sebuah batu berwarna putih seperti salju. Hanya saja, lantaran dosa manusia dan kelakukan kaum musyrikin di muka bumi, batu terebut berubah hitam.
Bahkan masih keterangan dari Ibnu Abbas RA, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, Allah akan mengutus batu tersebut pada hari kiamat dan ia memiliki dua mata yang bisa melihat, memiliki lisan yang bisa berbicara dan akan menjadi saksi bagi siapa yang benar-benar menyentuhnya.”
Tak heran bila keberadaan Hajar Aswad memiliki keutamaan tersendiri. Kenapa setiap orang yang berthawaf dianjurkan untuk mengusapnya? Imam Yahya bin Syarif An- Nawawi Asy-Syafi’i menjelaskan, kabah memiliki empat rukun.
Diantaranya adalah rukun hajar aswad dan rukun yamani. Keduanya disebut dengan Yamaniyani. Adapun dua rukum yang lain disebut Syamiyyani.
Hajar Aswad sebagai salah satu rukun di kabah memiliki dua keutamaan yakni sebagai letak qawaid (pondasi) Ibrahim Alaihissalam (AS) dan terdapat batu dari surga. Sedangkan rukun yamani hanya memiliki satu keutamaan yaitu sebagai letak qawaid.
Tak heran bila Hajar Aswad dikhususkan dalam dua hal, yakni dianjurkan mengusap dan menciumnya karena keutamaannya. Berbeda dengan rukun Yamani yang hanya mengusapnya namun tidak menciumnya.
Nah, mencium Hajar Aswad adalah bagian dari ibadah sebagaimana wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan thawaf mengelilingi Kabah.
Terkait mencium dan menyentuh Hajar Aswad, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Bukhari, Khalifah Umar bin Khattab RA mengatakan, “Memang aku tahu bahwa engkau hanyalah batu, tidak dapat mendatangkan manfaat atau bahaya. Jika bukan karena aku melihat Rasulullah menciummu, aku tentu tidak akan menciummu.”
Jadi, ritual mencium atau dengan cara memberi isyarat (istilam) yang dilakukan umat Islam yang tengah umrah maupun haji tersebut dalam rangka mengikuti tuntunan Nabi Muhammad SAW, bukan menyembah batu.
Dikutip dari madaninews.id, keberadaan Hajar Aswad tak terlepas dari sejarah panjang saat Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS membangun Kabah. Adalah Nabi Ismail yang menemukan batu itu ketika mencari batu tambahan. Lalu, batu itu diserahkannya kepada ayahnya.
Saking tertariknya pada batu itu, Nabi Ibrahim menciuminya berulang-ulang. Dan ketika akan menempatkan batu itu, keduanya terlebih dalu menggendongnya sembari mengelilingi (thawaf) bangunan Kabah sebanyak tujuh putaran.
Dalam perjalanannya, Rasulullah SAW pun menjadi bagian penting dari keberadaan Hajar Aswad.Sejarah mencatat ketika Rasulullah SAW masih berusia 35 tahun, terjadi pemugaran Kabah.
Sayang, dalam pemugaran itu terjadi perselisihan antar kabilah suku Quraisy Mekkah terkait posisi batu suci itu. Bahkan hampir saja terjadi pertumpahan darah, hanya karena masing-masing pemuka Quraisy merasa paling berhak atas Hajar Aswad.
Di tengah perselisihan, Abu Umayyah bin Mughirah Al-Makhzumi mengusulkan agar permasalahan itu diserahkan kepada orang yang pertama kali memasuki gerbang Kabah (Masjidil Haram melalui Bab Al-Shafa) pada hari itu.
Dan Muhammad bin Abdullah, adalah orang yang pertama kali masuk. Maka pemuka Quraisy pun sepakat bahwa yang menentukan posisi Hajar Aswad diserahkan kepada Muhammad –yang kala itu belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Mendapat kepercayaan itu, Rasulullah SAW pun membentangkan kain di tanah lalu meletakkan Hajar Aswad di atas hamparan kain itu. Lalu beliau meminta setiap tokoh Quraisy secara bersama-sama mengangkat dan membawa Hajar Aswad itu ke tempat semula.
Dan setibanya di lokasi asal, Hajar Aswad diangkatnya dan ditempatkannya di tempat asalnya. Dengan cara ini, para pemuka Quraisy sama-sama punya andil dalam menempatkan Hajar Aswad dan terhindar dari pertumpahan darah.
Sejak saat itu pula, keberadaan Muhammad bin Abdullah makin dipercaya dan dihormati.
Ahmad Moraei, pakar sejarah dari Universitas Ummul Qura, Mekah mengatakan, pada dasarnya, Hajar Aswad berbentuk satu bongkahan batu berdiameter 30 sentimeter.
Hanya saja, setelah terjadi penjarahan oleh Bani Qarmati pada tahun 317H di saat berlangsungnya ibadah haji. Akhirnya, batu tersebut pecah dan menyisakan delapan bagian.
Pecahan-pecahan tersebut yang hingga kini disatukan dengan bingkai perak dan dipasangkan ke tempat asalnya. Batu itu baru kembali ke tempat semula, setelah 22 tahun berpindah tangan ke penguasa Bani Qarmati, tepatnya pada bulan Dzulqaidah tahun 339H. Sayang, sisa-sisa pecahan batu itu ada yang hilang.
Menurutnya, Bani Qarmati yang dipimpin oleh Abu Thahir al-Qarmati datang ke tanah suci Mekkah dan menginvasi baitullah. Mereka kemudian membunuh lebih dari 70.000 warga hari itu.
Ahmad dengan pongahnya bahkan berkata,“Allah memberi kehidupan kepada manusia dan akulah yang akan mengambilnya.” Mereka kemudian membawa Hajar Aswad ke dalam Kota Ahsa (Bahrain).
Hajar Aswad merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dari Kabah. Posisi batu itu dijadikan penanda awal dan akhir dari ritual thawaf. Umat Islam meyakini bahwa batu berasal dari surga itu dibawa oleh malaikat Jibril ketika Nabi Ibrahim ingin menandai tempat tersebut sebagai titik awal mengeliling kabah. Malah, oleh bangsa Arab, sebelum masuknya peradaban Islam, Hajar Aswad merupakan sebuah pilar suci.
Pasalnya, zaman dulu Hajar Aswad mempunyai sinar yang sangat terang dan dapat menerangi seluruh wilayah Arab.
Namun semakin lama sinar terangnya semakin meredup dan hingga sekarang akhirnya berwarna hitam. Selain itu, batu ini mempunyai aroma unik dan alami yang dipunyainya sedari awal keberadaannya.