Menu

Malaysia Hadapai "Krisis Tenaga Kerja" Akibat Indonesia Belum Beri Kepastian

Zuratul 14 Jun 2022, 09:33
Ilustrasi/net
Ilustrasi/net

RIAU24.COM Malaysia kini diterpa kelangkaan pekerja migran yang mengakibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga semikonduktor terpaksa mengabaikan pesanan dan miliaran penjualan.

Produsen mengatakan Negeri Jiran kekurangan 1,2 juta pekerja. Sebanyak 500.000 untuk konstruksi, 12.000 untuk kelapa sawit, 15.000 untuk cip, 12.000 untuk sarung tangan medis.

"Meskipun optimisme yang lebih besar dalam prospek dan peningkatan penjualan, beberapa perusahaan sangat terhambat dalam kemampuan mereka untuk memenuhi pesanan," kata Presiden Federasi Produsen Malaysia, Soh Thian Lai, yang mewakili lebih dari 3.500 perusahaan, dilansir dari Reuters, dikutip Selasa (14/6/2022).

"Situasinya mengerikan dan sangat mirip dengan permainan sepak bola melawan 11 orang tetapi hanya diizinkan untuk memasukkan tujuh orang," tambahnya.

Sejak April 2022, perusahaan telah meminta izin 475.000 pekerja migran. Namun Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia, yang bertanggung jawab untuk menyetujui penerimaan pekerja asing, hanya menyetujui 2.065 pekerja saja.

Meskipun sudah mencabut larangan perekrutan pekerja asing di Februari karena Covid-19, jumlah pekerja migran masih minim.

Ini disebut akibat lambatnya negosiasi dengan sejumlah negara asal pekerja migran termasuk Indonesia dan Bangladesh, terutama soal perlindungan pekerja.

Indonesia hingga kini belum memberi konfirmasi soal negosiasi pekerja migran, sementara Bangladesh sudah memberi pernyataan, dilansir dari cnbcindonesia.com.

"Fokus utama kami adalah kesejahteraan dan hak-hak pekerja kami," kata Menteri Kesejahteraan Ekspatriat dan Ketenagakerjaan Luar Negeri Bangladesh, Imran Ahmed.

"Kami memastikan mereka mendapatkan upah standar, mereka memiliki akomodasi yang layak, mereka menghabiskan biaya minimum untuk migrasi dan mereka mendapatkan semua jaminan sosial lainnya."

Pernyataan ini kemungkinan terkait rilis dari Amerika Serikat (AS) soal "kerja paksa" di beberapa perusahaan Malaysia dalam dua tahun terakhir. Negeri Paman Sam sebelumnya juga telah memberi sanksi tujuh perusahaan karena itu.

Sebenarnya, belum ada riset resmi soal pengaruh "kiamat" pekerja migran ini ke ekonomi Malaysia. Namun merujuk indeks PMI manufaktur Malaysia ada penurunan menjadi 50,1 pada Mei dari 51,6 pada April.

Menurut data S&P Global, hampir tidak tersisa dalam ekspansi. Karena sektor ini kehilangan sebagian besar pekerjaan sejak Agustus 2020.

Industri sawit, yang menyumbang 5% ekonomi Malaysia pun memberi peringatan, sebab akan ada 3 juta ton panen hilang tahun 2022 ini karena busuk buah tidak dipetik, yang berarti kerugian lebih dari US$ 4 miliar.

Sementara industri sarung tangan karet memperkirakan US$ 700 juta pendapatan yang hilang tahun ini jika kekurangan tenaga kerja terus berlanjut.