Bergabung Dengan Tentara Ukraina dan Terjun ke Medan Perang Hadapi Rusia, Ini yang Dilakukan Para Pasangan LGBTQ
RIAU24.COM - Enggan sekadar bersembunyi atau bahkan melarikan diri, pasangan LGBTQ Ukraina ini memilih berjuang mengangkat senjata melawan invasi Rusia, diterima oleh rekan seperjuangan.
Saat pejuang sukarelawan Oleksandr Zhuhan dan Antonina Romanova bersiap untuk kembali ke tugas aktif, mereka merenungkan lambang unicorn yang memberi seragam mereka perbedaan yang langka, simbol status mereka sebagai pasangan LGBTQ yang merupakan tentara Ukraina.
Anggota komunitas LGBTQ Ukraina yang mendaftar untuk perang, telah menjahit gambar binatang mitos ke dalam lambang pasukan satau satuan standar mereka, tepat di bawah bendera nasional.
Praktik ini mengingatkan kembali pada konflik 2014, ketika Rusia menginvasi kemudian mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina, "ketika banyak orang mengatakan tidak ada orang gay di tentara," aktor, sutradara dan guru drama Zhuhan mengatakan kepada Reuters saat dia dan Romanova mempersiapkan seragam mereka untuk rotasi pertempuran tiga bulan kedua mereka, dilansir 31 Mei.
"Jadi mereka (komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer) memilih unicorn karena itu seperti makhluk tidak nyata yang fantastis," ujarnya.
Zhuhan dan Romanova, yang mengidentifikasi sebagai orang non-biner dengan kata ganti pria/wanita, pindah ke ibukota dari Krimea setelah dipindahkan pada tahun 2014, bertemu melalui karya teater mereka.
Tidak ada yang terlatih dalam penggunaan senjata. Tetapi, setelah menghabiskan beberapa hari bersembunyi di kamar mandi pada awal perang, mereka memutuskan harus berbuat lebih banyak.
"Saya hanya ingat bahwa pada titik tertentu menjadi jelas, kami hanya memiliki tiga pilihan: bersembunyi di tempat perlindungan bom, melarikan diri dan keluar dari sini, atau berjuang bergabung dengan Pertahanan Teritorial (sukarelawan). Kami memilih opsi ketiga," papar Romanova.
Rusia mengatakan pasukannya sedang dalam operasi khusus untuk mendemiliterisasi Ukraina, menyingkirkannya dari nasionalis radikal anti-Rusia. Ukraina dan sekutunya menyebut itu sebagai dalih palsu untuk perang agresi.
Bagi Zhuhan dan Romanova, panggilan berjuang untuk ukraina memberikan mereka rasa tanggung jawab tambahan.
"Karena apa yang dilakukan Rusia adalah mereka tidak hanya mengambil wilayah kita dan membunuh orang-orang kita. Mereka ingin menghancurkan budaya kita. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi," tukas Zhuhan.
Kali pertama pasangan ini ditugaskan di sekitar Mykolaiv di Ukraina selatan, sekitar 135 km (80 mil) dari pelabuhan Odesa, mengubah hidup mereka. Mereka bertempur di unit yang sama dan merasa menakutkan, Zhuhan terjangkit pneumonia, tetapi, kata pasangan itu. Sementara, rekan-rekan pejuang mereka menerima pasangan ini.
"Tidak ada agresi, tidak ada intimidasi. Itu sedikit tidak biasa bagi yang lain. Tapi, seiring waktu, orang-orang mulai memanggil saya Antonina, beberapa bahkan menggunakan kata ganti saya," tukas Romanova.
Ada banyak tamparan saat mereka bergabung dengan unit baru mereka di stasiun pusat Kyiv untuk tugas tiga bulan kedua. Beberapa dari tim Zhuhan dan Romanova mengetahuinya, tetapi para komandan tidak berada di stasiun.
"Saya sedikit khawatir tentang itu," katanya, suasana menjadi lebih suram saat unit menuju kereta mereka saat senja tiba.
"Saya tahu bahwa di beberapa unit, aturannya lebih ketat, tidak seperti itu di unit (pertama) kami," tukasnya.
Kegelisahan Zhuhan meningkat ketika seorang komandan menjelaskan penolakannya untuk menoleransi homofobia, semnetara seorang perwira yang lebih senior mengatakan, satu-satunya hal penting di garis depan adalah menjadi pejuang yang baik.
Meski demikian, satu ketakutan utama disuarakan kembali oleh mereka.
"Hal yang saya khawatirkan adalah, jika saya terbunuh selama perang ini, mereka tidak akan membiarkan Antonina mengubur saya seperti yang saya inginkan," sebut Zhuhan.
"Mereka lebih suka membiarkan ibuku menguburku dengan pendeta yang membacakan doa-doa. Tapi aku seorang ateis dan aku tidak menginginkan itu," pungkasnya.