Bukan Nusa Kambangan, Tapi Lembah Pilu Inilah yang Jadi Tempat Para Terpidana Mati Bertemu Malaikat Maut
RIAU24.COM - Jika harus menyebut satu nama penjara yang saking angker dan seramnya, bahkan sangat ditakuti oleh para kriminal, itu adalah Nusakambangan.
Layaknya Alcatraz, sebuah penjara bagi para kriminal kelas kakap, Nusakambangan juga demikian adanya. Mereka yang dijebloskan ke penjara ini hampir dipastikan mendapat hukuman yang sangat berat.
Bukan hanya itu, keangkeran tempat ini juga dilengkapi dengan keberadaan suatu tempat, tepatnya lembah, yang kerap dijadikan tempat pertemuan para terpidana mati dengan malaikat pencabut nyawa. Lembah tersebut bernama Lembah Nirbaya.
zxc1
Tak sembarang orang bisa datang ke tempat ini
Lembah ini terletak di ujung selatan Pulau Nusakambangan. Tempat ini juga menghadap langsung dengan Samudera Hindia dengan dikelilingi oleh bebatuan karang yang selalu diterjang ombak ganas. Lokasi ini cukup privat. Tak sembarang orang bisa datang atau mengakses termpat tersebut. Jalan ke tempat ini juga cukup terjal dan berat dengan medan berumput dan bebatuan untuk dilalui.
Lembah ini hanya dipenuhi oleh lahan yang gersang dengan lingkungan yang sungguh tak terawat.
Di lembah ini juga dulunya pernah ada LP yang didirikan oleh Belanda. Namun, LP ini ditutup tahun 1986. Meski kini bangunannya telah hancur, namun puing-puing masih tersisa. Dari deskripsi tersebut, wajar saja jika tak banyak orang yang sudi datang ke tempat ini.
Proses eksekusi yang mencengangkan
Seorang Gereja Katolik Paroki, di Cilacap Jawa Tengah, Romo Carolus, pernah menuturkan proses eksekusi mati dua orang terpidana yang dijamin bakal bikin kamu bergidik kejang-kejang.
Ia menjadi pendamping rohani dari terpidana mati bernama Hansen Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukuwu Okoye, pria asal Nigeria yang terjerat kasus narkoba.
Ia menuturkan, awalnya ada sejumlah petugas lap yang datang dan sibuk mengatur tempat-tempat eksekusi bagi para terpidana. Peristiwa ini terjadi sekitar tengah malam. Pemandangan yang jelas sangat tak biasa.
Kemudian, dari dalam sebuah mobil, dikeluarkanlah seorang pria, yang tak lain adalah Anthony, dan kemudian menerapkan pada tiang yang telah terpancang ke tanah. Tangannya diborgol, begitupun kedua kakinya.
Jangankan meronta, pria yang kepalanya telah ditutup semacam kain hitam itu juga bereaksi apa-apa. Ia seolah pasrah menanti ajal. Di bagian dada bajunya, tepat di bagian jantung, terdapat sebuah tanda merah.
Lima meter di hadapan pria tersebut, berdiri 12 regu tembak yang telah bersiap siaga dengan tempat tidur yang telah terkokang. Moncong mengarah tepat ke depan gawang. Menunggu aba-aba.
Dan dalam sekejap, peluru menembus tubuh Anthony, tepat di jantungnya.
Ia tak lantas terkapar. Ia masih bertahan hingga sekitar tujuh menit. Setelah itu, jasad Anthony sudah benar-benar tak bergerak. Samuel, terpidana mati lainnya, maju ke depan untuk menghadapi takdir serupa.
Mereka yang bertemu dengan malaikat maut di lembah Nirbaya
Ekseskusi paling awal yang dilakukan di tempat ini terjadi pada tahun 1985 dan tahun 1987 di mana terpidana bernama Umar dan Bambang Suswoyo masing-masing pihak dieksekusi mati atas kasus subversi.
Para terpidana lainnya yang mati di tempat ini diantaranya adalah Amrozi, Imam Samudera, dan Ali Ghufron. Mereka semua tak lain dan bukan merupakan pelaku utama kasus bom Bali.
Mereka dihukum mati karena terbukti terlibat dalam pengeboman di Bali yang beritanya terkenal hingga ke luar negeri itu.
Ada lagi tiga terpidana mati asal Sumatera Selatan, Jurit, Ibrahim, dan Suryadi yang dijatuhi hukuman mati karena terbukti secara kolektif melakukan pembunuhan berencana terhadap seorang pria bernama Soleh, pada tahun 1997. Setelah dibunuh, bahkan dimutilasi oleh mereka.
Mereka yang diekekusi di bukit pesakitan pada umumnya adalah terpidana yang telah melakukan perbuatan di luar batas. Seperti membunuh banyak nyawa hingga kepemilikan barang haram, narkoba, dalam jumlah yang sangat banyak.
Tak heran jika tempat ini menjadi salah satu lokasi yang sangat menyeramkan di negeri ini. Di tempat inilah cukup banyak nyawa para terpidana yang harus menutup buku kehidupannya.
Kesedihan dan kepiluan mereka tatkala menanti ajal, konon, abadi dalam raung jerit yang kerap terdengar di malam hari.