Benarkah Kesultanan Buton Penghianat?
Arung Palakka dan Buton dianggap tidak pro-Indonesia karena mereka sekadar menjadi lawan dari Hasanuddin yang dianggap “sepenuhnya Indonesia” cap yang diberikan karena sang sultan tidak bekerja sama dengan Belanda.
Padahal, di dalam alam pikir yang keindonesiaannya belum lahir itu, baik Gowa, Bone, Buton, dan bahkan Belanda (pada periode awal itu sebenarnya merupakan Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda/VOC), tidak lebih dari pemain politik yang terpisah-pisah dan tidak jarang saling berseteru.
Di samping itu, kenyataan bahwa Buton baru masuk ke dalam Negara Kolonial Hindia Belanda pada 1906 menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa sebuah entitas politik yang disebut-sebut pro-Belanda terlambat sekali untuk digabungkan ke dalam Pax Neerlandica—wilayah Belanda Raya dan jajahannya?
Untuk diketahui, Buton pertama kali mengadakan hubungan formal dengan VOC pada 5 Januari 1613.
Pada hari itu, Sultan Dayanu Ikhsanuddin (bernama asli La Elangi, bertakhta 1578-1615), menandatangani kontrak politik dalam posisi yang setara dengan Kapten Appolonius Schotte (1574–1639) yang mewakili VOC.
Perjanjian pertama—yang disebut janji baana (janji pertama) dalam bahasa Wolio—ini menyangkut masalah dagang rempah. Namun, ada dua aspek penting yang didapatkan Buton dari perjanjian pertama ini.