NU Indonesia Menyambut Perempuan Dalam Puncak Kepemimpinan
Perempuan NU juga memprakarsai kongres pertama Ulama Indonesia pada tahun 2017, yang mengeluarkan fatwa bersejarah yang memuat mandat bahwa semua partai politik harus mengambil sikap untuk memerangi perkawinan anak. Alissa, yang juga direktur nasional sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mendukung gagasan dan nilai-nilai Gus Dur, mengatakan dia berharap dengan adanya perempuan di dewan akan memungkinkan NU untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan di seluruh nusantara.
“Saya berharap kita bisa menghilangkan praktik-praktik berbahaya pada perempuan,” katanya. “Sekarang kami memiliki perempuan di NU pada tingkat kepemimpinan untuk memperjuangkan masalah ini.”
Badriyah Fayumi, tokoh Muslim yang diangkat menjadi A'wan, kelompok ulama yang membantu Majelis Tinggi NU, mengatakan masuknya perempuan dalam dewan pimpinan adalah contoh semangat Islam moderat NU. Pria berusia 50 tahun itu mengatakan ketika kelompok menjadi lebih konservatif, biasanya perempuan yang menjadi sasaran dan mendapati diri mereka terpinggirkan.
“Kita dapat melihat bahwa NU telah mengambil jalan yang sama sekali berbeda dari itu. Perbedaan antara Islam moderat dan ultra-konservatif adalah bagaimana mereka memperlakukan perempuan. Kelompok ultrakonservatif melihat perempuan sebagai objek, sebagai mesin reproduksi, sedangkan Islam moderat melihat perempuan sebagai subjek yang dapat membangun peradaban ini bersama-sama dengan laki-laki. Itulah mengapa penting bagi perempuan untuk berada dalam struktur kepemimpinan bersama laki-laki,” kata Badriyah.
Dalam sebuah acara bincang-bincang baru-baru ini di KompasTV Indonesia, Yahya menggemakan pandangan itu, menekankan bahwa perempuan sangat penting bagi perkembangan organisasi di masa depan. “Saya sangat membutuhkan mereka di NU. Kemampuan dan posisi mereka relevan dengan strategi yang saya pikirkan,” ujarnya.