Jangan Suka Ledek Makanan, Inilah Adab yang Dianjurkan Jika Tak Menyukai Sesuatu
RIAU24.COM - Islam adalah agama yang sempurna, mengajarkan umatnya mulai dari cara beribadah, bermasyarakat, hingga adab menjalani kehidupan sehari-hari.
zxc1
Salah satu yang diajarkan Islam kepada kita adalah adab terhadap makanan.
Islam melarang kita mencela makanan, terlebih lagi membuangnya. Hal tersebut diriwayatkan dalam hadits dari sahabat Abu Hurairah ra, yang berbunyi:
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَ
Artinya: “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya),” (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).
zxc2
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa jika kita tidak menyukai suatu makanan maka hendaklah kita meninggalkannya, alih-alih mencelanya.
Menurut Imam Nawawi, memuji makanan berarti menyenanginya. Sedangkan mencela makanan, berarti merendahkan kenikmatan yang diberikan Allah Subhanahu wa ta'ala.
Lantas mengapa kita dilarang mencela makanan?
Melansir dari muslim.or.id, ini karena makanan pada hakikatnya merupakan ciptaan Allah Ta’ala, sehingga tidak boleh dicela.
Sebab lainnya adalah karena celaan tersebut akan menyebabkan kesedihan dalam hati orang yang telah membuat dan menyiapkan makanan tersebut.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
والذي ينبغي للإنسان إذا قدم له الطعام أن يعرف قدر نعمة الله سبحانه وتعالى بتيسيره وأن يشكره على ذلك وألا يعيبه إن كان يشتهيه وطابت به نفسه فليأكله وإلا فلا يأكله ولا يتكلم فيه بقدح أو بعيب
Artinya: “Yang hendaknya dilakukan oleh seseorang jika dihidangkan makanan adalah menyadari besarnya nikmat Allah Ta’ala kepadanya dengan memudahkannya (mendapatkan makanan) dan juga bersyukur atasnya. Dan seseorang hendaknya tidak mencela makanan tersebut. Jika dirinya berselera dan senang (suka) terhadap makanan tersebut, hendaklah dimakan. Jika tidak, maka tidak perlu dimakan, dan tidak mengomentari makanan tersebut dengan komentar yang berisi celaan dan hinaan.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1; 817).