Di Indonesia, Wayang Kulit LGBTQ Memiliki Pesan Toleransi
Prototipe pertama dari kedua Betari Jaluwati dan Warya Bissunanda sekarang dengan bangga ditampilkan di pesantren Al-Fatah, sebuah pesantren untuk transgender, di mana Samidjan dan putranya pertama kali memainkan pertunjukan bertema LGBTQ mereka pada bulan Desember tahun lalu. Kedua tokoh tersebut juga muncul pada 16 November sebagai bagian dari festival pluralisme wayang.
Shinta Ratri, 57, waria yang juga ketua umum di Al-Fatah, ingat betul saat menyaksikan Samidjan tampil di pesantrennya. "Sungguh menghangatkan hati melihat jenis kami diwakili. Kami berhutang budi kepada Ki Samidjan karena tidak melupakan kami," katanya.
Seorang dalang otodidak, Samidjan mulai membuat wayang kulit sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Pada tahun 2001, ia memulai lokakarya yang memproduksi "wayang limbah", yang secara harfiah berarti "wayang sampah", dari bahan daur ulang seperti plastik dan potongan logam.
“Saya ingin menjauh dari bahan tradisional kulit sapi karena lebih praktis dan hemat biaya. Akhirnya saya memilih plastik dan logam bekas karena lebih masuk akal untuk mendaur ulang sampah sehingga wayang kita juga ramah lingkungan. ."
Untuk karya wayang limbahnya, Samidjan dianugerahi Penghargaan Kalpataru, penghargaan dari pemerintah Indonesia untuk warga yang dianggap telah berkontribusi pada pelestarian lingkungan, oleh kota Yogyakarta pada tahun 2018.
Kaum puritan di kalangan pecinta wayang mungkin tidak senang dengan pendekatan baru Samidjan yang membebaskan seni, terutama menambahkan karakter LGBTQ baru ke dalam repertoarnya.