Bagi Orang Indonesia Keturunan Tionghoa di Yogyakarta, Hukum Ini Menjadi Alasan Mengapa Mereka Tidak Bisa Memiliki Tanah
RIAU24.COM - Bagi doktor Kezia Dewi, mempelajari sejarah pemukiman Tionghoa di Indonesia lebih dari sekedar kepentingan pribadi, menjadi salah satu dari sekitar tiga juta etnis Tionghoa di negara itu.
Penelitian akademis semacam itu juga jarang dilakukan, karena banyak yang melihat topik kepemilikan tanah Tionghoa Indonesia sebagai hal yang sensitif dan memecah belah.
“Badan penelitian yang ada tentang pemukiman Tionghoa Indonesia sebagian besar berfokus pada sejarah Pecinan yang tersebar di seluruh Indonesia dan konservasinya. Inilah mengapa saya akhirnya memutuskan untuk menangani masalah kontroversial [kepemilikan tanah] baik di masa kolonial maupun pascakolonial,” kata wanita berusia 38 tahun itu.
Dilansir dari AsiaOne, penelitian PhD-nya di universitas Belgia KA Leuven telah memberinya akses langsung ke arsip kolonial Belanda. Berbagai wilayah Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda selama kurang lebih 350 tahun hingga tahun 1942.
Setelah Indonesia merdeka, etnis Tionghoa diberikan hak hukum yang sama dengan rekan-rekan pribumi mereka, tetapi tidak demikian halnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih diperintah oleh sultan secara turun-temurun. Ditunjuk sebagai semi-otonom pada tahun 1950, ini adalah satu-satunya provinsi di Indonesia di mana orang Indonesia Tionghoa dilarang memiliki sertifikat tanah hak milik. Sebaliknya, mereka diizinkan hak sewa yang biasanya berlangsung selama 30 tahun.
Peraturan tersebut, yang dibangkitkan pada tahun 1975, dimodelkan pada hukum kolonial Belanda yang dikenal sebagai Agrarische Wet 1870, di mana pemerintah kolonial menetapkan bahwa orang Eropa dan “orang Timur asing (Cina, India, dan Arab)” hanya dapat menyewa tanah yang diklasifikasikan sebagai “non- asli".