Ketika Pertengkaran Steve Ballmer dan Bill Gates, Menghancurkan Salah Satu Perusahaan Ponsel Ternama Dunia
RIAU24.COM - Bill Gates dan Steve Ballmer adalah sobat kental. Ballmer orang kepercayaan Bill, ia menjadi CEO Microsoft selama 14 tahun sebelum digantikan Satya Nadella di 2014. Namun hubungan keduanya tak selamanya mulus. Ballmer mengungkap kalau hubungannya dengan Bill terganggu karena kengototan Ballmer agar Microsoft berinvestasi besar di bisnis tablet dan smartphone. Bill rupanya tak setuju.
"Kupikir ada ketidaksepakatan yang fundamental tentang seberapa penting masuk ke bisnis hardware. Hal ini menjadi klimaks dalam hal apa yang harus dilakukan dalam bisnis ponsel," sebut Ballmer yang dikutip detikINET dari CNN Money.
Diketahui, Ballmer pada tahun 2013 memutuskan Microsoft harus membeli Nokia untuk mengejar ketertinggalannya di industri ponsel. Kala itu, divisi ponsel Nokia diakuisisi senilai USD 7,2 miliar. Keputusan itu terbukti salah, pembelian Nokia gagal untuk membangkitkan performa bisnis ponsel Microsoft. Bahkan Microsoft harus melakukan write down pada Nokia dengan kerugian USD 8,4 miliar dan merumahkan ribuan karyawan.
Lisensi merek Nokia pun dikembalikan dan Microsoft tidak lagi serius berkecimpung di industri smartphone. Pembelian Nokia itu, serta peluncuran tablet Surface tidak hanya ditentang oleh Bill, tapi juga dewan direksi Microsoft. Itulah yang membuat hubungan Bill dan Ballmer memburuk. Ballmer dan Bill pertama kali bertemu saat mereka kuliah di Harvard pada tahun 1970-an. Ballmer mengisahkan mereka sering belajar dan menonton televisi bersama.
Bill lalu drop out untuk membesarkan Microsoft. Ballmer lalu bergabung sebagai karyawan Microsoft di tahun 1980 sebagai pekerja ke-30, lima tahun sesudah Bill mendirikan Microsoft bersama Paul Allen. Sebelumnya sudah muncul kabar kalau keduanya sudah tak pernah berbicara satu sama lain. Namun Ballmer membantahnya meski mengakui hubungannya memang tak sebaik dulu.
"Kami bertengkar beberapa kali. Hal-hal seperti itu memang terjadi," ujar Ballmer.
"Kami tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi entah mengapa kami kalah", ucap mantan CEO Nokia, Stephen Elop sambil menyeka setitik air matanya, saat mengumumkan akuisisi Nokia oleh Microsoft pada 2013 lalu.
Lantas, kenapa Nokia bangkrut lalu dibeli Microsoft?
Tidak ada yang membantah, Nokia pernah menjadi raksasa ponsel dunia yang seakan tak akan pernah bisa dikalahkan pada dekade 1990-an hingga 2000-an awal. Ponsel Nokia dipakai oleh begitu banyak orang sehingga masih melegenda hingga kini. Tidak ada yang menduga dan mengira, kenapa Nokia bangkrut.
Namun keperkasaan Nokia mulai mengendur saat Apple memperkenalkan iPhone di tahun 2007. Namanya kini memang muncul lagi lewat HMD Global yang memegang lisensi atas merek tersebut, tapi Nokia yang dulu adalah perusahaan berbeda.
Apa sebenarnya yang membuat runtuhnya donimasi Nokia di industri ponsel? Kenapa Nokia bangkrut? Pertanyaan ini menarik banyak perhatian peneliti dan akademisi untuk dijadikan studi kasus.
Kenapa Nokia bangkrut?
Tentu, ada banyak faktor yang cukup kompleks. Namun, beberapa peneliti menyorot tiga hal utama dari faktor internal perusahaan, yakni kualitas teknologi yang kalah dari Apple, arogansi jajaran manajer, dan lemahnya visi perusahaan.
Tiga poin tersebut kemudian dirinci lebih mendalam oleh Tim O. Vuori, asisten profesor manajemen strategi Universitas Aaltoo dan profesor strategi, Qui Huy, dari sekolah tinggi bisnis INSEAD Singapura.
Mereka menulis sebuah karya ilmiah berjudul Distributed Attention and Shared Emotions in the Innovation Process: How Nokia Lost the Smartphone Battle.
Dalam studi ini, periset melakukan wawancara terhadap 76 manajer level atas dan menengah serta engineer Nokia.
Dalam studinya, Huy dan Vuori menemukan bahwa budaya kerja yang "mencekam" menjadi salah satu penyebab kenapa Nokia bangkrut.
Saat itu, para pemimpin disebut cukup tempramental dan membuat manajer level menengah ketakutan. Mereka takut melaporkan keadaan sebenarnya, karena ancaman pemecatan. Terutama tentang laporan penjualan yang gagal memenuhi target.
Di sisi lain, para eksekutif Nokia takut mengakui mutu sebenarnya sistem operasi Symbian yang dijalankan perangkat Nokia saat itu. Mereka khawatir jika mengakui hal tersebut, para investor, pemasok, dan terutama penggunanya, meninggalkan Nokia. Tapi mereka sadar, butuh waktu cukup lama untuk membangun sistem operasi yang bisa menyamai atau melampaui kualitas iOS buatan Apple. Di waktu yang sama, para manajer kelas atas mengintimidasi manajer level menengah, menuding mereka kurang ambisius untuk mencapai target.
Ancaman tersebut mendorong manajer level menengah akhirnya berbohong kepada jajaran yang lebih tinggi karena menurut mereka, tidak ada gunanya mengatakan hal yang sebenarnya. Manajer atas Nokia disebut kurang kompeten dalam urusan teknis, sehingga memengaruhi cara mereka menilai kualitas teknologi buatan mereka dalam menetapkan target dan keputusan.
Sementara, di Apple, posisi pimpinan diisi oleh para engineer. Salah satu blunder yang pernah dibuat adalah, para petinggi Nokia memutuskan untuk mengalokasikan sumber daya untuk mengembangkan perangkat ponsel baru, untuk memenuhi permintaan pasar dalam jangka pendek.
Mereka justru tidak memanfaatkannya untuk mencapai target jangka panjang, seperti mengembangkan sistem operasi baru.
Bisa dikatakan, politik internal, menjadi salah satu faktor utama yang menjadi penyebab, kenapa Nokia bangkrut. Para pegawai saling melemahkan dan membuat perusahaan semakin rentan tergerus arus kompetisi. Manajer level atas gagal memotivasi manajer kelas menengah. Mereka memilih menggunakan pendekatan yang keras tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Budaya "ketakutan" yang kadung berjalan memengaruhi interaksi antar karyawan Nokia. Lambat laun, munculah sebuah fenomena yang disebut "miopia temporal" akibat beberapa faktor yang menumpuk.
Studi ini menunjukkan pentingnya menjaga emosi bersama di antara karyawan. Manajemen karyawan buruk bisa berdampak bagi kekuatan perusahaan untuk bersaing, seperti yang dialami oleh Nokia, menurut studi How Nokia Lost the Smartphone Battle. Menurut Konsultan Kepemimpinan Amalia Sterescu, para pemimpin organisasi harus berani mendobrak status quo agar bisa beradaptasi. Pemimpin juga harus memiliki gaya kolaboratif dan meninggalkan budaya "tutup pintu" alias tidak menerima kolaborasi bersama pihak lain.
"Para pemimpin harus belajar lagi bagaimana mendengarkan pelanggan, mitra, dan karyawan mereka dengan benar," jelas Amelia dirangkum KompasTekno dari Medium Brand Minds, Selasa (30/3/2021).
Amalia menambahkan bahwa kecerdasan emosional dibutuhkan para pemimpin untuk mengambil keputusan, terutama saat pekerjanya terdiri dari beragam generasi, termasuk generasi milenial dan generasi Z.
Nokia kemudian undur diri dari bisnis ponsel usai divisi perangkat kerasnya diakuisisi oleh Microsoft pada 2014 lalu dengan mahar senilai 7,2 miliar dollar AS (sekitar Rp 96,8 triliun).
Kemudian pada 2016, lisensi merek Nokia dibeli oleh perusahaan China, HMD Global.