Sosok Djuwari, Satu-satunya Pemikul Tandu Jenderal Sudirman dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur yang Masih Hidup
RIAU24.COM - Nama Jenderal Soedirman, pejuang kemerdekaan Indonesia yang terkenal dengan taktik perang gerilya tak pernah terlupakan. Namun tidak semua orang mengetahui kisah Djuwari, pemikul tandu Jenderal Sudirman yang terlupakan, dan luput dari perhatian semua.
Jenderal Sudirman dikawal sekelompok tentara kecil dan dokter pribadinya, ia harus ditandu menembus belantara di Jawa Tengah hingga Jawa Timur sejauh 100 km selama sekitar tujuh bulan.
Dari kisah itu kita bisa membayangkan bagaimana beratnya perjuangan Sudirman beserta prajuritnya itu, termasuk empat orang yang menandunya. Satu-satunya pemikul tandu Jenderal Sudirman yang masih hidup hingga kini diketahui bernama Djuwari.
Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan seperti saat memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan.
Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya yang memang kurus.
Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen.
Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Sudirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp500.000, setelah itu belum ada yang datang membantu.
“Dulu gotong tandunya gantian mas, kira-kira ada orang tujuh, yang ikut manggul dari Goliman adalah Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu), dan Djoyo dari (warga Goliman),” ujar Djuwari dikutip dari iNews.id.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Sudirman seingatnya dimulai pukul 08.00 WIB dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat.
Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.
“Dari Bajulan (Nganjuk), saya dan pemikul lain terus balik ke Goliman. Waktu itu dikasih kain dan sarung,” tuturnya.