Sempat Melarang, Akhirnya Iran Bersedia Izinkan Pengawas Nuklir Dari PBB
RIAU24.COM - Sempat melarang, akhirnya otoritas Iran bersedia dipantau program nuklirnya oleha Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Negeri para Mullah itu bakal mengizinkan inspektur pengawas nuklir PBB untuk melayani peralatan pemantau nuklir di sana.
Dilansir dari Okezone, kesepakatan itu disebut-sebut sebagai tanda hubungan Iran dan IAEA membaik. "Para pihak mengingatkan dan menegaskan kembali semangat kerja sama dan saling percaya serta kelanjutannya dan menekankan pada perlunya mengatasi masalah yang relevan dalam suasana yang konstruktif dan secara eksklusif secara teknis," sebut Kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) Mohammad Eslami dan Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi dalam pernyataan bersama pada Minggu (12 September 2021).
Setelah kesepakatan pada Minggu (12 September 2021), IAEA akan dapat setidaknya melayani peralatan untuk pemantauan nuklir di Iran.
Seperti dikutip kantor berita Iran Tasnim, Eslami menyebut negosiasi pada Minggu (12/9) adalah "konstruktif." "Kami telah sepakat dalam pertemuan IAEA berikutnya bahwa Iran akan berpartisipasi dan di sela-sela pertemuan kami akan melanjutkan negosiasi," sebut Eslami.
"Kami juga sepakat bahwa kepala IAEA akan melakukan perjalanan ke Iran dalam waktu dekat dan akan bernegosiasi dengan para pejabat. Bagi kami membangun kepercayaan sangat penting dan kami ingin saling percaya antara Iran dan IAEA - itu penting," ujar Eslami.
Menurut pernyataan itu, inspektur IAEA bakal diizinkan untuk memperbaiki peralatan dan mengganti media penyimpanan mereka yang bakal disimpan di bawah segel bersama IAEA dan AEOI di Republik Islam.
Iran sebelumnya menyebut pihaknya berencana untuk mencegah IAEA meninjau rekaman video beberapa situs nuklir sampai ada kesepakatan untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani dengan AS, Inggris, Prancis, Rusia, China, dan Jerman. Di bawah ketentuan kesepakatan, Iran telah menyetujui pembatasan dan pemantauan internasional pada pengembangan nuklirnya, dengan imbalan keringanan sanksi. Namun, kesepakatan itu telah goyah sejak penarikan Presiden Donald Trump dari pakta tersebut pada 2018.