Kesalahpahaman tentang Islam di Korea Selatan dan Hubungannya dengan Taliban
RIAU24.COM - Song Bo-ra adalah wanita Korea Selatan yang berusia 30-an, dia masuk Islam pada 2007 setelah membaca tentang agama selama bertahun-tahun.
Dia tertarik pada sejarah dan budaya Arab sejak masih muda, dan menemukan bahwa “Islam adalah agama yang tepat untuk saya”.
zxc1
Dia menceritakan bagaimana tatapan orang lain padanya kala mengenakan hijab.
“Semua orang menatap saya, membuat saya merasa sangat malu, jadi saya bersembunyi dan menunggu kerumunan itu bubar,” kenang Song Bo-ra.
zxc2
“Mereka pikir jilbab digunakan untuk mengontrol perempuan dan kebebasan mereka, dan kami dipaksa untuk memakainya,” kata mantan guru Islam yang sekarang bekerja di Pusat Bisnis & Budaya Korea-Islam itu.”
Dia menyayangkan bahwa di Korea, jilbab sering dipandang sebagai simbol terorisme, sehingga Bo-ra kerap ditanyai apakah dia mendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) dan apakah dia pernah bertemu dengan anggota ISIS.
“Saya akan tertawa dulu, lalu menjelaskan bahwa kami (muslim) ingin hidup damai,” katanya.
Di negara yang sebagian besar homogen ini, agama Buddha dan Kristen adalah yang paling dominan, sementara Islam sangat tidak dipercayai.
Banyak orang Korea mengaitkannya dengan terorisme setelah penculikan pada 2007 terhadap 23 misionaris Korea Selatan oleh anggota Taliban.
Dua orang tewas sebelum pemerintah Korea Selatan mencapai kesepakatan untuk pembebasan mereka.
Kisah tersebut mendominasi berita utama selama berminggu-minggu, menciptakan kesan negatif tentang Islam yang bertahan hingga hari ini.
Jumlah Muslim di Korea Selatan saat ini berada di bawah 200.000, hanya 0,38 persen dari populasi, menurut perkiraan Federasi Muslim Korea (KMF).