Alami Kekeringan Terburuk, Rakyat Negara Ini Terpaksa Makan Daun Kaktus dan Serangga Tiap Hari
RIAU24.COM - Negara Madagaskar ternacam alami wabah kelaparan parah. Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebut negara ini jadi negari yang pertama di dunia yang berada di ambang wabah kelaparan.
Dilansir dari Okezone, PBB melaporkan puluhan ribu orang di Madagaskar telah menderita pada level "bencana besar" dari kelaparan dan ketahanan pangan karena selama empat tahun negara itu tak pernah hujan.
Di desa terpencil, Fandiova, distrik Amboasary, warga menunjukkan belalang-belalang sebagai makanan sehari-hari mereka kepada tim WFP yang berkunjung.
"Saya membersihkan serangga ini sebisa mungkin, tapi sudah hampir tidak ada air. Anak-anak dan saya memakan ini setiap hari sekarang, selama delapan bulan, karena kami sudah tak punya apa-apa lagi untuk dimakan, dan tak ada hujan yang memungkinkan kami memanen dari apa yang telah kami tanam," sebut Tamaria, ibu empat anak.
"Hari ini kami sudah tak punya apa-apa lagi untuk dimakan, kecuali daun kaktus," ujar Bole, ibu tiga anak yang duduk di tanah yang kering.
Dia menyebut, suaminya baru-baru ini meninggal karena kelaparan. Kondisi yang sama dialami tetangganya, yang meninggalkan dan menyerahkan dua anak untuk diberi makan.
"Saya mau bilang apa lagi? Hidup kami saat ini bergantung dari pencarian daun kaktus, lagi dan lagi, untuk bertahan hidup,” tutur Bole.
Kekeringan yang terburuk selama empat dekade sudah menghancurkan komunitas pertanian yang terisolasi di bagian selatan negara itu, membuat warganya harus mengais-ngais serangga untuk bertahan hidup.
"Ini adalah kondisi seperti-kelaparan, dan itu terjadi karena perubahan iklim, bukan konflik," sebut Shelley Thakral dari Program Pangan Dunia PBB, World Food Programme (WFP).
PBB memoerkirakan bahwa 30 ribu orang mengalami tingkat kegentingan pangan tertinggi yang diakui secara internasional - level lima. Serta ada kekhawatrian jumlah yang terkena dampak akan meningkat tajam seperti saat Madagaskar memasuki "musim paceklik" tradisional sebelum panen.
"Hal ini tak terduga. Orang-orang ini tak melakukan hal-hal yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Mereka tidak membakar bahan bakar fosil... namun mereka menanggung beban perubahan iklim," sebut Thakral.