China Rilis Film Propaganda Gambarkan Muslim Uighur Bahagia Bisa Menari dan Bebas Minum Alkohol, Aktivis: Tidak Masuk Akal
RIAU24.COM - Pemerintah China berusaha keras menepis tuduhan masyarakat internasional soal pelanggaran HAM dan intimidasi terhadap masyarakat muslim Uighur. Langkah terbaru, Pemerintah China meluncurkan film propaganda yang menggambarkan masyarakat Uighur hidup bahagia.
Film bertajuk "The Wings of Songs", memulai debutnya di bioskop-bioskop China pekan lalu. Film itu menawarkan sekilas visi alternatif Xinjiang yang didukung Partai Komunis China kepada penonton di dalam dan luar negeri. Tidak ada penindasan, film musikal ini sepertinya ingin menunjukkan Uighur dan minoritas lainnya bernyanyi dan menari dengan gembira dalam pakaian warna-warni.
Tetapi propaganda ini dikecam aktivis HAM Uighur. "Gagasan bahwa orang Uighur bisa menyanyi dan menari karena itu tidak ada genosida - itu tidak akan berhasil,” jelas Nury Turkel, seorang pengacara Uighur-Amerika dan rekan senior di Institut Hudson di Washington.
“Genosida dapat terjadi di tempat yang indah sekalipun,” lanjutnya, dikutip dari The New York Times, Rabu (7/4).
Setelah sanksi Barat, pemerintah China menanggapi dengan gelombang baru propaganda Xinjiag. China menggambarkan versi kehidupan yang bersih dan nyaman di Xinjiang sebagaimana digambarkan dalam film musikal tersebut dan mengerahkan pejabat China di situs media sosial untuk menyerang para kritikus Beijing. Untuk memperkuat pesannya, partai tersebut menekankan upayanya untuk memberantas ancaman terorisme kekerasan.
Menurut pemerintah, Xinjiang sekarang menjadi tempat damai di mana etnis Han China, kelompok etnis mayoritas, hidup harmonis bersama etnis minoritas Muslim di kawasan itu, seperti "biji delima". Ini adalah tempat di mana pemerintah berhasil membebaskan perempuan dari belenggu pemikiran ekstremis. Dan etnis minoritas di kawasan itu digambarkan bersyukur atas upaya pemerintah.
Film musikal ini membawa narasi ke tingkatan baru yang memicu rasa ngeri. Film ini bercerita tentang tiga pemuda, seorang Uighur, seorang Kazakh dan seorang China Han, yang berkumpul untuk mengejar impian musik mereka.
Film tersebut menggambarkan Xinjiang, wilayah yang didominasi Muslim di ujung barat China, yang terbebas dari pengaruh Islam. Pemuda Uighur mencukur jenggotnya dan terlihat menenggak bir, bebas dari jenggot dan pantangan alkohol yang dianggap pihak berwenang sebagai tanda-tanda ekstremisme agama. Perempuan Uighur terlihat tanpa penutup kepala.
Uighur dan etnis minoritas Asia Tengah lainnya juga digambarkan terasimilasi sepenuhnya dengan masyarakat arus utama. Mereka fasih berbahasa Mandarin, dengan sedikit petunjuk bahasa asli mereka. Mereka rukun dengan mayoritas etnis Han, tanpa rasa kebencian yang telah lama membara di antara Uighur dan minoritas lainnya karena diskriminasi sistematis.
Narasi tersebut menyajikan gambaran yang sangat berbeda dari kenyataan di lapangan, di mana pihak berwenang mempertahankan kontrol ketat menggunakan jaringan kamera pengintai dan kantor polisi yang padat, dan menangkap banyak orang Uighur dan Muslim lainnya di kamp-kamp interniran massal dan penjara. Pada Senin, film tersebut telah menghasilkan USD 109.000 di box office, menurut Maoyan, sebuah perusahaan yang melacak penjualan tiket.***