Beda Nasib dengan Giselle, Empat IRT Ditahan Meski Sedang Menyusui, Gus Jazil: Aparat Gagal Paham
RIAU24.COM - Penahanan empat ibu rumah tangga (IRT) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, NTB karena melempar pabrik tembakau mendapat sorotan dari publik. Apalagi sang ibu ditahan bersama anaknya yang masih balita.
Banyaknya kritikan publik mèmbuat Kejaksaan Negeri (Kejari) Praya, Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya menangguhkan penahanan empat IRT di Rumah Tahanan (Rutan) Praya sejak Rabu (17/2/2021).
Sebelumnya, penahanan keempat IRT tersebut menjadi perbincangan publik setelah dua di antara IRT yang ditahan, mengajak serta dua anak mereka yang masih balita ke dalam tahanan karena masih menyusui.
Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah Abdul Rachman Thaha menilai ada perbedaan perlakuan hukum terhadap Giselle Anastasia, public figure tersangka pidana kesusilaan dengan warga jelata. Perbedaan ini jelas-jelas mengoyak rasa keadilan dan berisiko memengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegakan hukum.
"Makin menyedihkan ketika pertimbangan kemanusiaan itu justru diberikan kepada tersangka pidana kesusilaan. Padahal, saat yang bersangkutan melakukan pidana kesusilaan itu dalam keadaan mabuk, sehingga sangat mungkin dia tidak ingat pada darah dagingnya sendiri," tutur Abdul Rachman Thaha.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengingatkan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
“Kasus tersebut menjadi contoh gagalnya pemahaman dari salah satu aparat penegak hukum Kejari Praya untuk menerapkan yang disebut restorative justice, hukum yang memang mendasarkan pada rasa keadilan. Ketika akhirnya penahanan ditangguhkan, menurut saya itu langkah yang tepat," ujar Gus Jazil, Selasa (23/2/2021).
Menurutnya, restorative justice adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.
Anggota Komisi III DPR ini mengatakan, apa yang terjadi di Kejari Praya tersebut makin menambah daftar bahwa hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Padahal, menurut Gus Jazil, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sejak menjalani fit and proper test, begitu pula Jaksa Agung ST Burhanuddin, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Semestinya kasus seperti ini bisa dijadikan contoh untuk penerapan restorative justice yang sekarang sudah diatur melalui peraturan Kejaksaan Agung. Kami berharap Jaksa Agung supaya ada pembinaan kepada aparaturnya agar apa yang menjadi niat baik Jaksa Agung agar hukum memberikan rasa keadilan, tidak hanya tajam ke bawah itu juga diimplementasikan oleh aparaturnya yang ada di bawah," tutur Gus Jazil.***