Menu

Pelajaran Penting dari Drama Politik AS, SBY Sebut Ucapan Presiden Harus Benar dan Jujur, Jika Tidak Begini Dampaknya

Siswandi 20 Jan 2021, 12:11
Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Foto: int
Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Foto: int

RIAU24.COM -  Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai, ada pelajaran penting yang bisa diambil dari drama politik yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Salah satunya adalah ucapan dari seorang presiden harus benar dan jujur. Bila tidak, maka dampak yang muncul sangatlah besar. 

Hal itu dilontarkannya menyorot pelantikan Presiden AS Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris, yang digelar pada hari ini, Rabu 20 Januari 2021. Untuk diketahui, proses pelantikan akan digelar di Washington DC pagi ini waktu setempat, atau tengah malam nanti waktu Indonesia.

Melalui akun Twitternya pribadinya, SBY menuturkan, drama poltik yang terjadi di AS saat ini, mengajarkan bahwa sistem demokrasi tidaklah  sempurna, khususnya dalam tataran implementasi.

Khususnya seperti yang terjadi di AS. Dimulai saat proses kemenangan hingga jelang pelantikan, gejolak selalu terjadi di negara itu, khususnya dari pendukung Donald Trump.

“Sistem demokrasi tidaklah sempurna, terutama implementasinya. Ada wajah baik dan wajah buruk dalam demokrasi. Namun, tidak berarti sistem otoritarian dan oligarki lebih baik,” cuitnya, dilansir rmol. 

Pelajaran kedua adalah, ucapan pemimpin atau presiden harus benar dan jujur di era “post-truth politics”. Jika tidak, maka dampak yang akan diakibatkan sangat besar.

Dalam hal ini, SBY mencontohkan ucapan Donald Trump yang menyebut telah terjadi kecurangan di dalam pilpres. Belakangan, hal itu memicu terjadinya kemarahan para pendukungnya. Buntutnya, terjadi aksi penyerbuan ke Capitol Hill yang akhirnya mencoreng nama baik AS.

SBY juga menyinggung tentang “post-truth politics" atau era politik yang tidak berlandaskan pada fakta, termasuk dalam kebohongan yang sistematis dan berulang. 

Namun SBY juga menegaskan, pada akhirnya hal ini akan mengalami kegagalan. Sebab, karena hal ini, seorang pemimpin akan kehilangan "trust" dari rakyatnya. "Karena mereka bisa bedakan mana yang benar (faktual) dengan yang bohong (tidak faktual),” terangnya lagi. ***